Oleh: Eben E. Siadari *
JAKARTA, KalderaNews.com – Dalam Imagined Places: Journeys into Literary America (1991), Michael Pearson menulis tentang penjiarahannya ke kota-kota yang menjadi latar pada karya-karya fiksi para penulis legendaris AS. Dosen Sastra dan Journalism di Old Dominion University itu berkelana ke kota Vermont, tempat Robert Frost menulis karya-karyanya. Ia juga ke Mississippi yang jadi ‘kampung halaman’ William Faulkner. Key West, wilayahnya Ernest Hemingway, juga ia jelajahi. Tak lupa ia ke Missouri, tempat bermain di masa kecil Mark Twain.
Kamu para penggemar karya-karya sastra klasik Amerika Serikat, tentu sudah tak asing dengan nama-nama penulis itu. Dan mungkin juga akan sama rasa penasarannya dengan Pearson. Ingin melihat langsung bagaimana rupa kota-kota yang awalnya hanya dikenal lewat kisah fiksi.
Menurut Pearson, para penulis menciptakan mitos tentang kota-kota. Di mata penduduknya, kota-kota itu mungkin biasa belaka. Namun oleh para penulis, ia menjadi luar biasa dalam imajinasi pembaca. Kota itu mendatangkan rasa nostalgia. Ingin dijiarahi dan dinapaktilasi. Seperti berita yang pernah viral, ketika orang mencoba mencari desa Penari yang muncul di novel KKN di Desa Penari.
BACA JUGA:
- Begini Petunjuk Lengkap SKB 4 Menteri tentang Pembukaan Sekolah Kembali
- Atma Jaya Siap Masuki Kenormalan Baru di Dunia Pendidikan
- Lagi-Lagi Minta Dispensasi UKT, Mahasiswa IAIN Parepare Unjuk Rasa
- Empat Jurnal Perguruan Tinggi Islam Sabet Predikat Q1 di Scimago JR
- MNPK Terbitkan Protokol ‘New Normal’ untuk Sekolah-sekolah Katolik di Indonesia
Itulah yang menggerakkan jutaan orang pergi berwisata ke Korea Selatan, termasuk wisatawan dari Indonesia. Mereka datang dipesona oleh imajinasi yang mereka bangun tentang kota-kota atau tempat tertentu di negara Ginseng itu. Mereka pergi ke Nami Island yang romantis. Atau ke Dongdaemun Design Plaza yang modern. Ke pantai Jumunjin yang indah, dan ke kebun teh segar di Daehan Dawon. Percaya atau tidak (ini serius), imajinasi itu dibangun karena menonton Drama TV Korea (Drakor).
Andai tak ada pandemi COVID-19, tahun ini negara itu akan mencatat rekor kunjungan wisatawan asing 20 juta orang. Tahun lalu, jumlah wisatawan asing ke negara itu tercatat 17,5 juta, jumlah tertinggi yang pernah terjadi. Dan, Drakor turut berperan sebagai motor penggeraknya.
Drakor telah menjadi faktor kunci pembentuk citra Korea Selatan sejak bertahun-tahun. Sebagai contoh, Drakor Winter Sonata (tahun 2002), Jewel in the Palace (tahun 2003) dan Full House (tahun 2004) menyebabkan jutaan orang datang ke Korea Selatan tak lama setelah melesatnya drama seri itu di berbagai negara Asia. Tren itu berlanjut. Tahun 2013, My Love from the Star disambut sangat antusias di China. Film itu ditonton lebih dari 40 juta kali di berbaga situs video di Negeri Tirai Bambu itu.
Sekarang di masa pandemi COVID-19, Drakor telah menjadi tontonan yang digemari di seantero Asia, bukan hanya di negara dengan nilai-nilai Konfusianisme. Di Sri Lanka, Bangladesh, Bhutan, Filipina, Brunei, Malaysia dan tentu saja Indonesia, Drakor menghipnotis para perempuan. Sesekali bahkan ekspansi Drakor menyebabkan ketegangan hubungan dengan China yang menyebabkan streaming siaran Drakor pernah dilarang. Sementara di Korea Utara menonton Drakor bisa mendatangkan hukuman.
Mengapa hal ini dapat terjadi, kamu mungkin sudah sering membaca studi dan analisis yang memberikan jawabannya. Saya akan menambahkan satu lagi, dari sebuah paper baru-baru ini saya baca. Paper itu ditulis oleh akademisi Thailand, Veluree Metaveevinij, yang menurut saya, layak disimak. Dalam artikel berjudul Key Success Factors of Korean TV Industry Structure that Leads to the Popularity of Korean TV Dramas in a Global Market, akademisi pada Cultural Management Program, College of Innovation, Thammasat University itu mengemukakan tujuh hal di balik popularitas Drakor.
- Kehadirannya Tepat Waktu
Drama Korea pertama kali hadir dan menemukan momentum di tengah ketegangan hubungan China dan Jepang. Kita tahu, China, Jepang dan Korea Selatan memiliki akar budaya yang sama. Namun ketika China mulai menyangkal keberadaan budaya Jepang, Korea mendapat kesempatan. Apalagi pada saat yang sama, budaya Jepang dipersepsikan telah menjadi terlalu kebarat-baratan. Penonton merasa semakin terasing dan pada saat yang sama, mereka menemukannya pada film Korea. - Keseimbangan antara Modernisme dan Tradisionalisme
Pada awalnya Jepang merupakan kiblat Asia untuk drama televisi. Bahkan orang Korea sendiri mengakui Drakor paling awal merupakan adaptasi dari sebuah drama TV Jepang. Namun Drakor mengambil alih posisi drama TV Jepang karena para sutradara Korea berhasil membuat adaptasi terhadap lansekap sosio-kulturalnya. Mereka menciptakan keseimbangan antara modernisme dan tradisionalisme. Misalnya, bila di drama Jepang sudah jamak sikap hidup yang sangat liberal dalam hubungan percintaan, pada Drakor nilai puritanisme masih dipelihara. Dan, ini tampaknya berhasil memenuhi aspirasi pemirsa Asia yang tak bisa dengan begitu saja mengabaikan nilai-nilai budaya. - Kisah Cinderella yang Baik Hati
Hal lain yang membuat Drakor popular ialah jalan ceritanya. Kisah-kisah Drakor umumnya adalah kisah tentang perempuan yang berjuang untuk menggapai keinginannya – terutama dalam hal percintaan. Dan walaupun perjuangannya kerap berliku, pada umumnya akan berakhir dengan happy ending. Bukan kebetulan bila penonton terbesarnya adalah kalangan perempuan. Memang itulah sasaran pasarnya. - Nilai Moralitas Asia
Nilai-nilai Konfusianisme yang banyak ditemukan pada Drakor kelihatannya dapat memenuhi kebutuhan banyak kalangan di Asia, yang merasa hampa di tengah era yang sangat materialistik. Dan lagi-lagi Korea Selatan diuntungkan oleh sejarah. Banyak negara-negara di Asia Tenggara memiliki pengalaman yang kurang menyenangkan dengan Jepang (yang sebetulnya menganut juga nilai-nilai Konfusiansime). Hal ini memberi panggung yang lebih luas bagi Drakor. - Aktor dan Aktris yang Enak Dipandang
Haewon Chin, Pejabat Senior Pemasaran stasiun TV MBC menilai faktor kunci keberhasilan Drakor adalah tampilan para aktor dan aktrisnya yang enak dipandang. Namun faktor penampilan fisik itu diimbangi oleh akting yang alami. Aktor dan aktris Korea mampu mengetengahkan rasa terluka mereka dengan sangat ekspresif. Itu sangat dibutuhkan oleh melodrama, yang kisah-kisahnya membutuhkan banyak emosi dan kepekaan. - Kualitas Tinggi
Popularitas Drakor menarik investor untuk berinvestasi pada teknologi pertelevisian yang lebih canggih. Perusahaan yang berorientasi teknologi seperti KT Company pun ikut terjun berinvestasi dalam memproduksi Drakor. Anggaran yang lebih tinggi selanjutnya mengundang teknologi, sumberdaya dan kompetensi yang tinggi. Pada saat yang sama, Drakor dapat mematok harga yang lebih murah. Dibandingkan dengan biaya produksi drama televisi Jepang, Drakor jauh lebih bersaing. Di beberapa negara, harga Drakor bahkan lebih remdah dibanding biaya produksi drama televisi lokal. - Industri televisi yang terstruktur dengan baik
Keberhasilan Drakor adalah sebuah upaya kolosal yang terintegrasi mulai dari aktor dan aktris, penulis naskah, produser, sutradara, stasiun televisi dan keseluruhan industri. Paper yang ditulis Veluree Metaveevinij sangat panjang mengulas hal ini, bahkan upaya yang terintegrasi ini merupakan tesis utama papernya. Perlu tulisan tersendiri untuk menceritakan ulang bagian ini. Tapi intinya adalah, Drakor bukan lagi hanya sebuah karya seni, melainkan karya industri. (###)
* Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan. Buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), The Beautiful Sarimatondang (2020), Perempuan-perempuan Batak yang Perkasa (2020) dan Kerupuk Kampung untuk Gadis Berkacamata Bill Gates (2020).
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat, dan teman-temanmu.
Leave a Reply