JAKARTA, KalderaNews.com – Week of Indonesia-Netherlands Education and Research (WINNER) 2024 menghadirkan beragam diskusi untuk mendukung kolaborasi pendidikan dan penelitian dua negara.
Di gelaran hari kedua, Rabu, 25 September 2024, salah satu diskusi bertajuk “Are we there yet? Decolonization of Indonesia’s Higher Education”.
Diskusi yang digelar seacara hybrid ini membedah upaya dan tantangan dekolonisasi pendidikan tinggi, terutama di Indonesia.
BACA JUGA:
- WINNER 2024: Fostering Bilateral Collaboration in Higher Education and Research
- WINNER 2024: Program Riset Bersama Indonesia – Belanda untuk Solusi Tantangan Sosial
- Penting, Kolaborasi Pendidikan dan Penelitian Indonesia – Belanda, Temukan Semuanya di WINNER 2024!
Hadir sebagai pemantik diskusi Indah Wahyu Puji Utami, S.Pd., M.Pd., Ph.D. dari Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Malang (UM), dan Dr. Agus Suwignyo, M.A., pengajar Sejarah di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Pengabdian masyarakat upaya dekolonisasi
Agus Suwignyo mengatakan bahwa dekolonisasi berarti Indonesia ingin melepaskan diri dari bayang-bayang warisan kolonial, sekaligus mengembangkan sistem pendidikan tinggi yang khas Indonesia.
Pada tahun 1950-an hingga 1960-an, ada upaya dari beberapa universitas untuk mengembangkan program pengabdian kepada masyarakat sebagai “dharma ketiga” dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia.
Nah, pelekatan pengabdian masyarakat sebagai dharma ketiga perguruan tinggi ini bisa dikatakan mencerminkan semangat dekolonisasi.
Pengabdian kepada masyarakat adalah faktor kunci yang menghubungkan secara langsung kinerja perguruan tinggi di Indonesia dengan masyarakat.
Tetapi, program tersebut hanya mendapatkan sedikit perhatian ilmiah, dan bahkan secara nyata telah diabaikan dalam penetapan indikator kinerja perguruan tinggi.
Pengabaian itu tentu bertentangan dengan kecenderungan perguruan tinggi di negara-negara Selatan, yang justru menekankan pentingnya keterkaitan pendidikan tinggi dengan masyarakat.
Pun di tahun-tahun berikutnya, penekanan tujuan dekolonisasi dari program pengabdian kepada masyarakat amat berkurang. Apalagi campur tangan pemerintah yang terlalu kuat dalam program-program kerja perguruan tinggi.
Bukan kompetisi, tapi kolaborasi
Sementara terkait dengan pemeringkatan atau ranking institusi pendidikan tinggi dipaparkan Indah Utami.
Menurutnya, dalam konteks global sistem pemeringkatan universitas merupakan “instrumen penjajah atau kolonialisasi”, lantaran memberikan manfaat bagi kampus-kampus di belahan dunia utara, serta mengukuhkan “hierarki kolonial”.
Hal ini bisa terlihat dengan jelas pada kriteria atau indikator penilaian setiap pemeringkatan universitas, yang berbeda dengan indikator pencapaian kampus di Indonesia.
Selain itu, sistem pemeringkatan tersebut kadang membuat kampus fokus mengejar indikator pencapaiannya, namun melupakan hal-hal penting yang lain, seperti penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Maka, kata Indah Utami, perlu mendefinisikan ulang terkait indikator pencapaian pendidikan tinggi.
Selain itu, sebenarnya yang amat penting bukanlah kompetisi, melainkan kolaborasi atau dalam budaya Indonesia kerap disebut gotong royong.
Kampus juga mesti didorong bukan hanya sekadar mengejar ranking dalam pemeringkatan tertentu, tetapi lebih fokus pada kegiatan yang berorientasi sosial.
Maka, dalam hal ini dibutuhkan kesadaran akan kewajiban moral kampus untuk terus melakukan penelitian dan pendidikan yang berkontribusi pada dinamika sosial.
Cek Berita dan Artikel KalderaNews.com lainnya di Google News
*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu. Tertarik menjalin kerjasama dengan KalderaNews.com? Silakan hubungi WA (0812 8027 7190) atau email: kalderanews@gmail.com.
Leave a Reply