Sastra Masuk Kurikulum, Tapi Rapuh Sebelum Menempuh

Ilustrasi: Anak-anak membaca buku. (kalderanews.com)
Ilustrasi: Anak-anak membaca buku. (kalderanews.com)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com – Beberapa bulan jelang tahun ajaran baru, Kemendikbudristek meluncurkan Sastra Masuk Kurikulum. Belum dimulai, program ini dinilai rapuh di awal.

Peluncuran Sastra Masuk Kurikulum ditandai dengan Buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra.

Buku panduan tersebut merekomendasikan 177 judul buku fiksi bagi para siswa dari jenjang SD hingga SMA.

BACA JUGA:

Judul buku fiksi tersebut tentu telah melewati proses kurasi oleh para kurator yang terdiri dari para akademisi, sastrawan terkenal dan para pendidik.

Alhasil, terdapat 43 karya fiksi untuk bacaan siswa SD sederajat, 29 judul untuk jenjang SMP, dan 105 untuk SMA/SMK/MA.

Buku panduan setebal 784 halaman tersebut adalah hasil kerja keras proses penyeleksian yang katanya dimulai sejak tahun 2023.

Buku panduan yang penuh catatan

Namun sayang, buku tebal itu dinilai penuh “catatan merah”. Salah satu catatan dilayangkan oleh penulis Nirwan Dewanto. Ia bahkan menulis surat terbuka.

Nirwan meminta kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam proses penerbitan “Buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra” (2024) itu untuk menghapus novelnya yang berjudul “Jantung Lebah Ratu” dari daftar buku yang direkomendasikan.

Ia beralasan bahwa buku panduan tersebut dibuat “asal-asalan”, tidak memenuhi standar editorial serta perwajahan buku yang layak.

““Buku” di atas jelas tidak memenuhi standar perbukuan yang mana pun: sajiannya buruk, penyuntingannya buruk, bahasanya buruk, isinya buruk, dan seterusnya. Saya katakan satu hal saja, sebagai contoh: “buku” itu menyebarkan disinformasi, jika bukan kebohongan; mengandung bukan hanya kesalahan-keteledoran, tetapi kesalahan yang bersifat “sistematis” akibat cara kerja yang bobrok,” tulis Nirwan.

“Susah dipercaya, bagaimana mungkin hasil kerja yang seceroboh dan seburuk ini (akan) digunakan untuk memajukan pendidikan dan persekolahan. Sungguh cara kerja yang berbanding terbalik dengan prinsip merdeka mengajar dan merdeka belajar,” imbuhnya.

Profil penulis keliru

Satu lagi, kekeliruan fatal dalam buku tersebut adalah profil novelis Akmal Nasery Basral.

Akmal yang lahir di Jakarta, ditulis lahir di Bukittinggi. Tahun kelahirannya juga berubah dari 28 April 1968 ke 3 Juli 1946.

Padahal data semacam itu, mesin pencarian Google pun sanggup melakukannya.

Pun profil pendidikan Akmal keliru. Dituliskan Akmal menempuh pendidikan dasar dan menengah di Bukittinggi lalu melanjutkan studi ke Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang.

Padahal Akmal tak pernah menempuh pendidikan di kampung halaman orangtuanya. Ia kuliah di FISIP Universitas Indonesia.

Belum lagi bila diteliti lebih dalam ke sinopsis buku yang direkomendasikan. Beberapa disinformasi disajikan dengan mentah.

Cek Berita dan Artikel KalderaNews.com lainnya di Google News

*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmuTertarik menjalin kerjasama dengan KalderaNews.com? Silakan hubungi WA (0812 8027 7190) atau email: kalderanews@gmail.com.




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*