Tantangan Akulturasi Budaya, dari Hilangnya Budaya Sendiri Hingga Konflik Nilai Budaya

Pelajar Internasional di Jepang
Pelajar Internasional di Jepang (KalderaNews/Ist)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com – Dalam era media sosial, akulturasi budaya menjadi lebih mudah, cepat, dan luas.

Fenomena pergerakan budaya antara Jepang dan negara-negara Asia Tenggara dibahas dalam International Symposium “Mobilities Among ASEAN and Japan: It’s Future and How We Shape It” yang bertujuan untuk memahami perputaran dan pertukaran budaya dalam berbagai sektor seperti makanan, olahraga, hiburan, dan seni.

Boreth Ly, Profesor South East Asia Art History and Visual Culture, University of California mengambil tokoh Hanoman sebagai contoh pergerakan budaya klasik yang terjadi di negara-negara Asia Tenggara.

BACA JUGA:

Ia menyebut, layaknya negara Asia Tenggara lainnya, Thailand pula memiliki kisah Hanoman, sang manusia kera yang sakti mandraguna, sebagai bagian dari kisah Ramayana.

“Meskipun dengan versi cerita yang berbeda, namun tokoh Kera Putih Hanoman sangat tidak asing bagi masyarakat Asia Tenggara. Hanoman ini merupakan jembatan budaya antara negara-negara di Asia Tenggara dalam bentuk epik klasik,” jelas Boreth Ly.

Panel dalam simposium ini membahas berbagai contoh pergerakan budaya, seperti kisah Hanoman dalam Ramayana yang menjadi jembatan budaya di negara-negara Asia Tenggara, dan budaya pop Jepang seperti anime, J-pop, dan cosplay yang menciptakan dialog lintas budaya.

Melalui media sosial TikTok, terjadi pergerakan budaya dengan keragaman bahasa dalam musik atau lagu yang trending, yang berpotensi memupuk kolaborasi dan konektivitas antar budaya-budaya yang berbeda.

Trend Flexing

Namun, pergerakan budaya ini juga membawa tantangan, seperti hilangnya budaya sendiri, konflik nilai budaya, dan semakin meningkatnya kesenjangan antara budaya-budaya. Trend flexing di media sosial menciptakan perilaku eksklusif dan menegaskan perbedaan sosial.

Dalam proses pembuatan film, female gaze mempertanyakan tatanan patriarki di lingkungan pesantren putri, namun hal ini dianggap tabu di lingkungan yang masih patriarkal.

Globalisasi juga menstimulasi kesadaran akan produk halal, yang menjadi tantangan bagi negara non-mayoritas muslim untuk beradaptasi dengan menyediakan halal sebagai fasilitas dalam berbagai sektor.

Pergerakan budaya melalui media sosial juga dapat memicu perdebatan antar nilai budaya yang berbeda di Jepang dan negara-negara Asia Tenggara.

Secara keseluruhan, pergerakan budaya memberikan manfaat dan keragaman dalam masyarakat, tetapi juga menimbulkan tantangan bagi budaya itu sendiri. Oleh karena itu, rekomendasi kebijakan berbasis riset diperlukan untuk menghadapi perbedaan dan kebersandingan budaya antara Jepang dan Asia Tenggara.

Cek Berita dan Artikel KalderaNews.com lainnya di Google News

*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmuTertarik menjalin kerjasama dengan KalderaNews.com? Silakan hubungi WA (0812 8027 7190) atau email: kalderanews@gmail.com




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*