JAKARTA, KalderaNews.com – Citayam Fashion Week menjadi perbincangan yang hangat di kalangan pengguna sosial media akhir-akhir ini.
Fenomena mengenai para remaja berpakaian nyentrik yang memadati kawasan Dukuh Atas, Sudirman, Jakarta ini bahkan menarik minat media internasional seperti Tokyo Fashion.
Melihat fenomena itu, Dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Luluk Dwi Kumalasari, S.Sos, . M.Si, memberikan penjelasan.
BACA JUGA:
- Heboh Paris Fashion Week di Medsos, Inilah Jurusan Fashion Design yang Dapat Dipilih
- Mengulik Jurusan Fashion Design, Kuy! Lulusannya Terus Dibutuhkan Sepanjang Masa
- Profil Puteri Indonesia 2022, Laksmi Shari, Peraih Cum Laude Bachelor of Fashion Business
Luluk mengatakan, kepopuleran tersebut menuai banyak pro dan kontra. Sebagian masyarakat mengapresiasi cara kreatif para remaja mengekspresikan diri melalui fashion.
Namun, sebagian yang lain menilai bahwa aksi para remaja ini mengganggu dan membuat kumuh kawasan Sudirman.
Menurut Luluk, Citayam Fashion Week merupakan fenomena yang wajar. Hal ini didasarkan pada naluri manusia sebagai makluk sosial untuk membentuk kelompok sesuai karakteristik dan tujuan tertentu.
“Komunitas ini terbentuk oleh beberapa anak muda yang tingggal di daerah Citayam, Bojong Gede, dan Depok. Sebagai daerah penyangga ibu kota para anak muda ini memiliki kreativitas yang lebih di bidang fashion. Saya melihat bahwa keberadaan Citayam Fashion Week ini merupakan sarana para anak muda untuk mengungkapkan diri mereka secara jujur melalui sebuah fashion,” ungkap Kepala Program Studi (Kaprodi) Sosiologi UMM ini.
Luluk menjelaskan bahwa perkembangan sosial media juga turut memengaruhi keberadaan tren ini, terutama TikTok. Para remaja di Citayam Fashion Week ini memanfaatkan sosial media untuk menjadi terkenal dan mendapatkan uang.
Hal ini melahirkan banyak selebgram dan seleb TikTok seperti Jeje, Bonge, Kurma, Roy, dan yang lain.
“Masifnya keberadaan sosial media mempengarui cara para remaja untuk berkreasi dan Citayam Fahion Week menjadi wadah baru untuk mereka. Selain itu, dengan munculnya komunitas ini juga menjadi sebuah wacana baru bahwa fashion yang selama ini identik dengan kalangan atas, juga bisa dilakukan oleh kalangan menengah ke bawah,” kata Luluk.
Dampak positif dari kemunculan tren ini, kata Luluk, adalah para remaja menjadi lebih memahami kehidupan bersosial. Kreatifitas para remaja sebagai content creator di media sosial juga meningkat.
“Selain dampak positif, tentu saja hal ini juga menimbulkan beberapa dampak negatif, seperti budaya buang sampah sembarangan dan cara berpakaian yg dinilai terlalu terbuka,” ujar Luluk.
Maka, kata Luluk, pemerintah perlu mengedukasi, mengarahkan, dan pendampingan kepada para remaja agar komunitas ini tetap berlangsung namun dengan minim dampak buruk.
“Secara keseluruhan saya memandang bahwa tren ini sebagai hal yang positif. Saya berharap Citayam Fashion Week dapat menjadi komunitas yang dikenal secara positif tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia Internasional. Saya juga berharap komunitas ini dapat menunjukkan sebuah budaya fashion baru yang memiliki karakter sendiri,” kata Luluk.
*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply