Oleh: Elisabeth Daar *
JAKARTA, KalderaNews.com – Tidak jarang dalam kehidupan sehari-hari kita mendengar ungkapan orang-orang perihal pendidikan seorang perempuan. “Untuk apa sih perempuan harus sekolah tinggi-tinggi, toh ujung-ujungnya akan kembali ke dapur, mengurus anak dan suami”, “perempuan tidak perlu disekolahkan tinggi-tinggi, nanti suaminya beruntung mendapatkannya”, dan sederetan ungkapan lainnya yang cenderung pesimis dan negatif.
Ungkapan semacam itu kerap kali kita dengar entah di lingkungan tetangga, teman dan bahkan di lingkungan keluarga kita sendiri. Kebiasaan ini menunjukkan bahwa dalam budaya kita, setinggi apa pun pendidikan dan gelar seorang perempuan tetap tidak sebanding dengan posisi laki-laki.
Budaya patriarkal yang mengakar kuat menempatkan laki-laki pada posisi nomor satu. Seorang laki-laki adalah seorang kepala keluarga. Ia harus berpendidikan lebih tinggi dari perempuan karena harus bekerja mencari nafkah demi menghidupi keluarga.
BACA JUGA:
- Berjiwa Melayani pada yang Kurang Mampu Jadi Keistimewaan dan Kekokohan Sekolah Strada
- Saat Sekolah Lain Tutup, Jumlah Siswa Sekolah Strada Justru Melejit
- Persekolahan Strada Menuju Perayaan Seabad, Pelayanan Pendidikan Bagian dari Iman
Sebaliknya kaum perempuan tidak berkewajiban untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi. Pendidikan seadanya saja, sebab ia bukan penanggung jawab utama menghidupi keluarga. Alhasil, perempuan selalu dinomorduakan, dianggap remeh dan bahkan cenderung keberadaannya tidak dianggap.
Persepsi seperti ini pada akhirnya dapat mematahkan semangat para perempuan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Belenggu budaya yang demikian serta tidak adanya keberanian untuk keluar dari cengkeraman persepsi merendahkan itu, membuat banyak perempuan cenderung puas dengan pendidikan seadanya.
Mirisnya lagi, tidak jarang kita mendengar banyak kasus pelecehan terhadap kaum perempuan. Contoh nyata yang sering terjadi dalam lingkungan masyarakat adalah KDRT. Laki-laki sering kali melakukan tindakan semena-mena atas perempuan. Hak-hak perempuan sering kali tidak dihargai. Hal ini dipicu tidak lain oleh persepsi keliru di atas yang entah kapan harus bersih dari mindset masyarakat umum.
Dua hari lalu kita merayakan peringatan R.A. Kartini. Ia adalah seorang pahlawan perempuan Indonesia yang terkenal dengan perjuangan emansipasi wanita. Kita perlu belajar dan mewujudnyatakan perjuangan dan harapan Kartini, agar ia dan semangatnya tetap hidup di masa kini dan di masa datang.
Dalam bukunya yang berjudul “Habis Gelap terbitlah terang”, R.A. Kartini melukiskan perjuangannya menentang tradisi yang menghambat kemajuan kaum perempuan. Ia menginginkan agar setiap perempuan Indonesia mendapat pendidikan yang layak seperti laki-laki pada umumnya. Perempuan bukanlah nomor dua tetapi ada setara dengan laki-laki. Oleh karenanya, segala hal yang menghambat kesetaraan itu harus berakhir.
Sebagai seorang perempuan, kita sadar bagaimana seorang Kartini begitu gigih memperjuangkan hak-hak perempuan dalam dunia pendidikan. Kita bersyukur, sebab tanpa perjuangannya, kita sebagai kaum perempuan akan terus terkekang oleh tradisi yang begitu kuat dan kental.
Tanpa seorang Kartini, kita mungkin tidak bisa merasakan bagaimana rasanya menyenyam pendidikan, menjadi perempuan yang mandiri dan berwawasan luas. Pendidikan merupakan jalan utama bagi perempuan untuk menyelamatkan diri. Dengan mengikuti pendidikan, perempuan diharapkan memiliki kesadaran akan masa depan dirinya.
Perempuan yang memiliki pendidikan yang tinggi cenderung tidak akan bergantung pada laki-laki. Hal itu sejalan dengan era sekarang dimana perempuan dituntut untuk lebih mandiri.
Perempuan yang berpendidikan tinggi akan memberi banyak manfaat, yakni lebih percaya diri, menjaga diri dari pergaulan bebas, mengurangi kemiskinan, serta mampu memberi yang terbaik untuk keluarganya.
Perjuangan R. A. Kartini untuk kaumnya tentu bukan untuk bersaing dengan kaum laki-laki, tetapi lebih kepada memperjuangkan harkat dan martabat kaumnya. Lebih dari itu, perempuan memang harus belajar dan berpendidikan. Sebab, mereka akan menjadi ibu bagi manusia-manusia baru.
Dan menjadi ibu bukanlah suatu tugas yang mudah. Tugas mengandung, melahirkan, mendidik, dan membesarkan anak tidak semudah mengedipkan mata atau membalikan telapak tangan. Sebaliknya tugas itu sungguh berat dan mulia.
Dengan belajar dan memiliki wawasan luas, kaum perempuan akan mampu membimbing dan mengajarkan anak-anaknya berbagai hal yang positif dalam kehidupan. Berbicara tentang pentingnya peran perempuan, Bung Hatta mengatakan demikian: “siapa yang mendidik satu laki-laki berarti telah mendidik satu manusia, sedangkan siapa yang mendidik satu perempuan berarti mendidik satu generasi”.
Hal ini menunjukkan betapa besar peran seorang perempuan dalam mendidik generasi bangsa sehingga melahirkan generasi-generasi yang cerdas dan tangguh. Karena itu, perempuan dituntut untuk terus belajar dan mengasah kemampuan yang dimilikinya demi tercapainya cita-cita generasi bangsa yang cerdas.
Kita patut bersyukur dengan seluruh perjuangan R.A.Kartini. Sebab Kita tidak lagi terkungkung dalam tradisi yang begitu kuat dan kental. Kita tidak lagi hanya berdiam diri di rumah, tetapi dituntut untuk terus belajar dan berkembang sesuai dengan arah perkembangan zaman.
Saat ini banyak perempuan hebat dan luar biasa. Mereka tidak hanya menjadi seorang ibu rumah tangga, tetapi mereka juga menjadi wanita karir, sesuai dengan impian dan cita-citanya masing-masing. Mereka adalah Kartini-Kartini di zaman sekarang. Kita, para perempuan harus mampu menjemput dan membawa terang Kartini, kini dan di masa depan.
Sudahkah kita mewujudnyatakan perjuangan R.A. Kartini dalam kehidupan kita sehari-hari?
Selamat Hari kartini, untuk Kartini- Kartini masa Kini yang tangguh dan luar biasa.
* Elisabeth Daar adalah pendidik di SMP Strada Nawar.
Leave a Reply