Oleh Eben E. Siadari *
JAKARTA, KalderaNews.com – Entah bagaimana mulanya sampai kemudian kita telah lama membiarkan hal absurd ini terjadi. Yakni menganggap bahwa menjadi orang yang biasa-biasa saja itu tidak keren. Yang keren itu adalah menjadi orang yang luar biasa. Dan karena itu setiap orang harus jadi sosok luar biasa.
Padahal, mengatakan setiap orang harus luar biasa telah mengandung pertentangan dalam maknanya, contradictio in terminis. Tidak mungkin semua orang menjadi luar biasa. Bila semua orang luar biasa, bukankah itu berarti yang luar biasa itu telah menjadi biasa?
Namun apa boleh buat, kultur telah menempatkan ke-luarbiasa-an sedemikian tinggi. Termasuk di dunia pendidikan. Orang tua ingin anaknya menjadi murid yang ‘ter.’ Terpandai. Terdisiplin. Tercepat. Teratas. Guru mendorong murid-muridnya mendapat nilai tertinggi, terbaik, yang paling memuaskan. Bila ada pertanyaan, “Apa kabar?” harus dijawab dengan kata “Luar Biasa.” Hidup yang biasa-biasa disamakan dengan hidup tak bermakna.
Untungnya tidak selalu demikian. Setidaknya bila kita berkaca kepada hidup keluarga Kerajaan Inggris. Ke-luarbiasa-an bagi mereka tampaknya justru menjadi beban. Tekanan media dan tekanan publik yang mengharuskan mereka selalu tampil luar biasa seakan menjadi kutuk. Mereka rindu pada hal-hal yang biasa.
BACA JUGA:
- Begini Pesan Uskup Agung Semarang Bagi Mahasiswa Baru Unika Soegijapranata
- Universitas Nasional Rilis Usulan Kebijakan untuk Bioekonomi Indonesia Bersama AIPI dan Kehati
- Alhamdulillah, di Jabar Tak Ada Klaster Covid-19 di Lingkungan Sekolah
Itu lah yang kini ingin dijalani Lady Louise Windsor. Gadis milenial berusia 17 tahun ini adalah cucu Ratu Inggris, Ratu Elizabeth II. Ia putri sulung Pangeran Edward (Earl of Essex) dan istrinya, Sophie Countess of Wessex. Kita tahu, Pangeran Edward adalah putra bungsu dari Ratu Elizabeth II dan Pangeran Philip. Ia adik dari Pangeran Charles (Princess of Wales), Putri Anne (Princess Royal) dan Pangeran Edward (Duke of York).
Pers Inggris telah lama mengabarkan bahwa Lady Louise Windsor adalah cucu kesayangan sang Ratu. Dan bagaimana ia meraih ‘predikat’ itu, patut kita catat. Ia menjadi kesayangan justru karena hidupnya yang biasa-biasa.
Ia dan keluarganya cukup merasa nyaman tidak disorot oleh media. Mereka juga berusaha menahan diri untuk tidak terlalu sering ambil bagian dari acara-acara kerajaan. Mereka menjadi keluarga kerajaan yang biasa-biasa saja.
Menurut media Inggris, Pangeran Edward yang disebut-sebut pula sebagai ‘anak kesayangan’ Ratu, mewariskan sikap hidup biasa-biasa-nya itu kepada Louise. Sedari awal, Pangeran Edward memahami betapa beratnya beban bila harus melayani tuntutan untuk selalu luar biasa. (Yang dialami oleh kakaknya, Pangeran Charles dan Pangeran Andrew serta keponakan-keponakannya, Pangeran William dan Pangeran Harry).
Ketika Louise masih kecil dan tiba saatnya untuk diberi nama, Pangeran Edward dan Sophie meminta izin kepada sang Ratu agar anak-anak mereka tidak perlu diberi gelar Pengeran atau Putri. Tidak perlu dengan sapaan Her Royal Majesty (HRM). Putri sulung mereka cukup dinamai sebagai Lady Louise Alice Elizabeth Mary Windsor sedangkan putra mereka berikutnya (adik Louise) diberi nama James, Viscount Severn.
Baru-baru ini Louise mengikuti ujian General Certificate Secondary Education (GSCE), sebuah ujian yang lazim diambil oleh siswa Sekolah menengah Pertama di tingkat terakhir. Louise selama ini dikenal sebagai ”Cucu Ratu yang Pintar.’ Dan seluruh Inggris bahkan seluruh dunia mungkin ingin tahu nilai ujian yang diperolehnya. Namun, keluarga itu menahan diri untuk tidak mengumumkannya. Mereka menganggap informasi itu adalah bagian dari hal privat.
Louise diberitakan cukup lama baru menyadari kebangsawanannya. Pernah ibunya bercerita kepada Sunday Times tentang hal itu. Satu hari, ketika baru tiba sepulang dari sekolah, Louise berkisah kepada sang ibu tentang perkataan teman-temannya padanya.
“Bu, orang-orang terus berkata kepadaku bahwa nenekku adalah Ratu Inggris,” demikian Louise berkata kepada ibunya.
“Lalu bagaimana perasaanmu mendengar hal itu?” tanya sang ibu.
“Aku nggak ngerti,” jawab Louise.
Louise benar-benar belum memahami bahwa dirinya cucu Ratu Inggris. Padahal, Louise dan dan adiknya James dibesarkan di rumah yang tidak jauh dari tempat tinggal kakek dan neneknya di Kastil Windsor. Louise juga sering berkunjung ke kastil tersebut. Namun baginya Ratu Elizabeth II tetaplah nenek atau oma. Ia tidak melihatnya sebagai ratu.
Hidup yang biasa-biasa bermakna pula sebagai hidup yang tidak neko-neko. Tidak aneh-aneh. Dan itulah salah satu yang konon membuat Ratu semakin sayang kepada Louise. Hobi Louise tidak melenceng dari yang lazim. Hobinya adalah hobi yang ditekuni oleh anggota kerajaan pada umumnya: berkuda. Dan Louise kerap menemani sang nenek berkuda. Ratu dan sang cucu semakin klik.
Louise menjadi cucu pelipur lara bagi Ratu di saat-saat sedih dan tertekan, seperti saat ini, ketika cucunya Pangeran Harry menjauh, dan putranya, Pangeran Andrew, berulah. Cucu yang biasa-biasa saja itu ternyata justru menjadi seorang yang luar biasa bagi sang Ratu.
Di sini kita kembali dihadapkan pada pertanyaan di awal tulisan ini: apakah betul bahwa menjadi biasa-biasa saja itu tidak keren?
Menurut para pakar psikologi anak, stres pada anak-anak kerap muncul dari tuntutan untuk selalu menjadi pribadi luar biasa. Tuntutan itu bisa datang dari dalam dirinya tetapi lebih sering berasal dari luar dirinya. Entah dari lingkungan keluarga, sekolah atau lingkungan sosial lainnya.
Kerap terjadi kesenjangan antara tuntutan yang dibebankan kepada anak dan kemampuannya memenuhi tuntutan tersebut. Bagaimana sang anak mengatasi kesenjangan itu akan sangat menentukan ketrampilan sosialnya di masa depan.
Bagi orang dewasa, tuntutan untuk menjadi luar biasa beragam motifnya. Ada yang merasa harus luar biasa karena ingin meninggalkan legacy, berupa nama besar yang diingat orang. Padahal, legacy tidak selalu menyangkut hal-hal luar biasa. Seringkali momen-momen yang normal lebih memberikan perasaan bahagia dan dikenang sampai lama.
Dorongan untuk menjadi luar biasa juga sering disebabkan persaingan. Melihat orang lain telah menorehkan pencapaian tertentu, timbul keinginan untuk mencapai hal yang sama. Ini adalah manusiawi. Namun ambisi demikian tidak seharusnya mengurangi penghargaan terhadap hal-hal yang biasa. Termasuk untuk menerima kenyataan akan kemampuan diri yang hanya bisa mencapai yang biasa.
Para ahli filsafat sering berkata bahwa tidak ada yang baru di bawah langit. Dan semua akan berlalu. Terlalu berfokus pada ke-luarbiasa-an dapat menghalangi kesadaran pada sifat kesementaraan dari yang luar biasa itu. Padahal, tidak ada hal luar biasa yang langgeng. Semuanya akan kembali menjadi biasa.
Kesimpulannya adalah manusia tidak harus menjadi luar biasa untuk berhasil. Apalagi untuk bahagia. Yang lebih mendekatkan manusia pada tujuannya ialah apabila ia dapat menjadi lebih baik dan lebih baik lagi, seiring dengan perjalanan waktu. Tidak selalu harus di depan apalagi terdepan.
* Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan. Buku karyanya antara lainEsensi Praktik Menulis (2019), The Beautiful Sarimatondang (2020), Perempuan-perempuan Batak yang Perkasa (2020) dan Kerupuk Kampung untuk Gadis Berkacamata Bill Gates (2020).
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply