­Manajemen Krisis di Perguruan Tinggi

Wira Adiguna, Mahasiswa Paramadina Graduate School of Communication (PGSC) Jakarta
Wira Adiguna, Mahasiswa Paramadina Graduate School of Communication (PGSC) Jakarta (KalderaNews/Dok. Pribadi)
Sharing for Empowerment

Oleh: Wira Adiguna, Mahasiswa Paramadina Graduate School of Communication (PGSC) Jakarta

JAKARTA, KalderaNews.com – Di era digital seperti saat ini sebuah informasi dapat dengan mudah tersebar sangat cepat. Kecenderungan setiap orang dalam mengakses informasi dari smartphone yang mereka miliki, menyebabkan arus berita seolah mengalir deras memenuhi ruang forum pembicaraan. Sehingga mudah sekali sebuah berita dikonsumsi khalayak ramai tanpa adanya filter terhadap keabsahan dari berita tersebut.

Krisis dalam sebuah organisasi nampaknya bukanlah sebuah hal yang bisa dihindari dan pasti akan selalu membayangi organisasi tersebut. Bukan suatu rahasia lagi jika setiap organisasi akan selalu berusaha untuk tidak bersinggungan dengan sebuah krisis.

Krisis bisa datang dari dalam organisasi (inside) atau dari luar organisasi (outside). Dan jika krisis menerpa sebuah organisasi, maka citra dan reputasi dari organisasi menjadi taruhannya. Krisis sendiri merupakan suatu peristiwa, rumor atau informasi yang bisa membawa pengaruh buruk yang akan mempengaruhi reputasi dan citra pada suatu organisasi, lembaga, atau perusahaan (Nova, 2011).

BACA JUGA:

Reputasi tidak bisa dilepaskan dari organisasi, karena reputasi merupakan sesuatu citra yang sudah melekat dan dimiliki oleh organisasi di mata publik. Dibutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk membangun sebuah reputasi, khsusunya dalam sebuah organisasi.

Karena dibutuhkan kepercayaan, kualitas dan integritas yang perlu dibangun untuk membentuk reputasi sebuah organisasi. Maka dari itu, krisis yang terjadi di suatu organisasi yang datang secara tiba-tiba, pastinya akan mengguncang organisasi tersebut. Sehingga dibutuhkan upaya untuk menanganinya.

Dalam dunia perguruan tinggi krisis tidak akan pernah bisa dihindari. Kompleksitas dan dinamika yang terjadi di dalam perguruan tinggi tentunya memiliki resiko yang bisa menyebabkan timbulnya krisis. Perguruan tinggi memiliki lapisan yang menjadi bagian dari organisasinya itu sendiri.

Seperti dosen, manajemen kampus, staf pendukung, dan civitas akademi lainnya, terutama mahasiswa sebagai subjek pendidikan. Luasnya spektrum yang dimiliki oleh perguruan tinggi menyebabkan potensi-potensi terjadinya krisis memiliki banyak ruang untuk bisa dimasuki. Sehingga dibutuhkan sebuah blueprint yang dipersiapkan jika sewaktu-waktu krisis menerpa.

Akhir-akhir ini kita sering mendengar berita terkait perguruan tinggi yang jika kita lihat lebih dekat lagi, berita yang disampaikan bukanlah berita yang bermakna positif melainkan pada berita negatif yang berkaitan dengan perguruan tinggi tersebut. Salah satunya ialah kasus kebakaran laborarium yang terjadi di IPB Univeristy yang menewaskan salah satu mahasiswi program pascasarjana, pada Jum’at 18 Agustus 2023.

Kejadian ini bermula ketika terjadi sebuah kebakaran di sebuah laboratorium uji yang sedang digunakan oleh korban bernama Laila Atika Sari, mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Nurtisi dan Pakan yang sedang melalukan penelitian di laboratorium tersebut.

Korban yang terjebak di dalam laboratorium tidak bisa terselamatkan dari efek kebakaran yang didapat, walaupun sempat dievakuasi ke rumah sakit. Inisiden ini kemudian tersebar dengan cepat dan menjadi berita nasional, sehingga membuat nama IPB University sebagai perguruan tinggi yang menaunginya menjadi perhatian publik.

Hal ini sontak menjadi perhatian publik baik dari media nasional dan sosial media. Publik menyoroti keamanan dan fasilitas IPB University yang tidak bisa melindungi mahasiswanya dari sebuah kecelakaan. Informasi menjadi simpang siur terkait penyebab terjadinya kecelakaan yang menyebebkan tewasnya seorang mahasiswa di lingkungan kampus. Dengan kejadian ini tentunya akan mempengaruhi reputasi dan citra IPB University sebagai institusi pendidikan.

IPB University sendiri sebetulnya sedang mencoba memulihkan reputasi dan citra institusinya dari krisis yang sebelumnya sempat menerpa. Yaitu, ketika sejumlah 116 mahasiswanya terjerat penjaman online (pinjol) yang terjadi di akhir tahun 2022.

Kasus tersebut juga menjadi perhatian publik karena melibatkan mahasiswa yang terlilit hutang lewat aplikasi pinjaman online (pinjol) yang menyentuh angka milyaran rupiah. Ini tentunya menjadi pukulan besar yang menimpa IPB University, yang sedang mencoba merevitalisasi reputasinya di masyarakat yang sempat tercoreng.

Krisis yang menimpa IPB university menjadi sebuah contoh bahwa perguruan tinggi pun bisa rentan terkena krisis yang berasal dari internal dan datang secara tiba-tiba. Maka dari itu, menarik bagaimana fungsi public relations (PR) melakukan mitigasi dan menjalankan strategi manajemen krisisnya guna mengatasi masalah yang terjadi dan mengurangi dampak negatif yang bisa dan akan timbul.

Dalam situasi krisis peran public relations (PR) sangatlah krusial. Hal ini karena fungsi dari PR sendiri ialah menjadi representasi organisasi dalam menghadapi krisis yang terjadi. Sehingga diharapkan organisasi dapat melalui situasi krisis yang terjadi dan tetap dapat menjaga citra dan reputasi dari organisasi.

Pada situasi krisis public relations (PR) harus dapat memetakan, menganalisis, menafsirkan dan menyusun strategi yang tepat agar penanganan krisis yang terjadi bisa terselesaikan dengan baik tanpa menyisakan opini publik yang negatif terhadap organisasi.

Pasca kejadian yang terjadi dan berita telah tersebar, IPB University terlihat telah memiliki kesiapan dalam menghadapi situasi krisis yang terjadi. IPB University langsung mengadakan press converence (presscon) dan mengeluarkan statement yang ditujukan pada kejadian tersebut. Melalui rektornya Prof Arif Satria langsung menginstruksikan membentuk 3 (tiga) tim khusus untuk melakukan investigasi yang memiliki fungsi berbeda-beda yang antara lain Tim Investigasi yang bekerjasama dengan Kepolisian guna menggali lebih detail krinologis dan detail kejadian.

Lalu ada Tim Evaluasi Laboratorium yang melakukan pemeriksaan fasilitas laboratorium yang memiliki resiko tinggi, dan yang terakhir Tim Keselamatan Kerja yang akan memastikan setiap kegiatan akademik yang dilaksanakan di lingkungan kampus sudah sesuai prosedur dan aman dari resiko yang bisa mengancam.

Manajemen krisis sangatlah penting guna meminimalisir resiko yang bisa ditimbukan dan efek negatif yang mungkin timbul dari krisis yang melanda. Salain itu public relations (PR) dalam menjalankan manajemen krisis haruslah menemukan solusi yang terbaik untuk organisasi dalam mendegradasi dampak ataupun kerugian yang bisa ditimbulkan. Win win solution sentu menjadi opsi yang ideal bagi organisasi jika memang pilihan yang dihadapkan sangat minimal.

Selain itu, kesiapan dari organisasi dalam menghadapi krisis tentu menjadi sangatlah penting. Organisasi haruslah memiliki standard operational procedure (SOP) sebagai guide line organisasi dalam menghadapi situasi krisis yang datang. Sehingga ketika situasi krisis terjadi organisasi tidak melakukan kesalahan-kesalahan yang akan membuat situasi menjadi lebih buruk.

Pada situasi krisis organisasi perlu menunjuk key opinion leader atau juru bicara yang kompeten dan paham akan situasi yang terjadi dan menjadi representasi organisasi dalam menyampaikan informasi kepada publik. Dan diharapakan mampu menjawab setiap opini dan pertanyaan yang masih simpang siur di masyarakat.

Dalam keadaan krisis biasanya situasional crisis communications theory (SCCT) sangatlah familiar dalam analisis komunikasi krisis. SCCT kerap digunakan untuk merumuskan strategi komunikasi krisis dalam menangani sebuah krisis. Terdapat tiga tahap pendekatan dalam situasi krisis, yaitu Pre-Crisis (sebelum krisis), Crisis Event (saat krisis terjadi, dan Post Crisis (setelah krisis terjadi) (Coombs, 2007).

Manajemen krisis yang tepat sangatlah dibutuhkan dalam menentukan strategi yang tepat dalam menghadapi situasi krisis. Perlunya kesiapan organisasi dalam mengahadapi krisis, agar situasi tidak berkembang menjadi lebih buruk dan pada akhirnya akan mempengaruhi reputasi dan citra organisasi.

Inilah kenapa pentingnya blueprint dan standard operational procedure (SOP) dalam menghadapi krisis sangat dibutuhkan setiap organisasi. Maka pemetaan dan mitigasi krisis yang dibutuhkan bisa dengan cepat dilakukan, dan dengan cepatnya mitigasi yang dilakukan maka krisis yang terjadi bisa dengan cepat mereda.

Selain itu, krisis tidak hanya berfokus pada saat krisis terjadi. Hal yang tidak boleh dilupakan adalah pasca krisis. Mengembalikan reputasi dan citra organisasi pasca krisis sangatlah penting. Karena suka atau tidak situasi krisis pastilah berdampak pada reputasi dan citra organisasi.

Organisasi perlu mengembalikan kepercayaan publik sebagai bagian dari upaya merevitalisasi reputasi yang sempat tercemar pada saat krisis melanda. Apalagi jika menyangkut pada reputasi sebuah perguruan tinggi. Perguruan tinggi haruslah dipercaya oleh publik sebagai institusi pendidikan yang berintegritas dan mencetak masa depan bangsa. Oleh karenanya reputasi dan citra baik yang dimiliki perguruan tinggi menjadi cerminan penerus bangsa.

Cek Berita dan Artikel KalderaNews.com lainnya di Google News

*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmuTertarik menjalin kerjasama dengan KalderaNews.com? Silakan hubungi WA (0812 8027 7190) atau email: kalderanews@gmail.com




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*