Oleh: Dr. Rewindinar, M.Si, Wakil Direktur Non-Akademik ATVI
JAKARTA, KalderaNews.com – Sebagai dosen Ilmu Komunikasi, saya selalu mengingatkan kepada mahasiswa bagaimana menyampaikan pesan lebih penting dibandingkan dengan pesan itu sendiri. Karena orang lebih melihat dan mengingat bagaimana cara kita berkomunikasi.
Diskusi di kelas Prodi Ilmu Komunikasi, di kampus yang ada di bilangan Tangerang kali ini berlangsung hangat, karena kami membahas mengenai elemen-elemen komunikasi dalam komunikasi politik yang dilakukan oleh calon presiden (capres) dalam debat yang ditampilkan di media televisi.
Bukan untuk membahas politik ataupun tentang pilihan mahasiswa karena pada hakikatnya, pilihan orang itu bersifat rahasia. Tetapi untuk melihat preferensi khalayak dalam konteks komunikasi di wilayah politik. Di mana tentunya preferensi ini akan menentukan pertimbangan dalam melakukan suatu tindakan termasuk dalam pengambilan keputusan seseorang.
BACA JUGA:
- Academic freedom under pressure in Indonesia
- Minoritos Tionghoa-Kristen Terjun ke Politik, Geraldi Ryan Wibinata: Banyak Terbentuk Karena Aktif OSIS Sewaktu SMA
- Kampanye Politik di Kampus, Tetap Menjadi Tempat Netral, Jangan Jadi Berwarna-warni
Ketiga calon presiden memiliki keunikan yang berbeda-beda yang menjadi value dari citra masing-masing.
Gaya komunikasi capres ada yang humoris (asyik, santai) , mature (dewasa, berwibawa) dan intelektual.
Dari warna atau gaya berpakaian pun ketiganya memiliki identitas masing-masing biru-putih (dengan style kemeja di keluarkan), putih-hitam, dan hitam-putih (style jas lengkap).
Kemudian, tagline atau slogan yang kreatif dibuat untuk mudah diingat. Kerja yang cepat, slogan yang bernuansa spiritual ataupun singkatan dari kedua nama capres dan cawapres.
Begitu pula dengan simbol yang bisa menjadi perhatian publik seperti gerakan dua jari, metal dan menyatukan kedua tangan.
Uniknya, ketika ditanya masing-masing mahasiswa memiliki jawaban yang tidak konsisten. Sebagai ilustrasi misalnya mahasiswa A memilih gaya komunikasi capres pertama, warna atau gaya komunikasi capres kedua, tagline atau simbol capres ketiga. Demikian pula dengan mahasiswa lain. Tidak ada yang mengarah pada satu capres dengan elemen komunikasi yang dominan menarik perhatian. Selalu dinamis.
“Gimmick politik membuat mereka menjadi tidak realistis,” ungkap salah seorang mahasiswa.
“Fokus pada subtantif, itu yang penting”, menurut yang lain.
Reputasi dan terutama data menjadi hal yang utama dan bukan bahasa yang menjual harapan.
Jika mengacu pada tiga pilar retorika yang dikemukakan Aristoteles, etos (merujuk pada siapa yang berbicara, berkaitan dengan kredibilitas), pathos (mengacu pada bagaimana komunikator berbicara) dan logos (apa yang dibicarakan), generasi yang berusia dua puluhan hingga tiga puluhan, faktor logos adalah menjadi yang utama.
Untuk kalangan muda tersebut yang bekerja dan kuliah malam justru mempertimbangkan faktor “pesan” atau “apa yang disampaikan” sebagai preferensi untuk pengambilan keputusan.
Pemilih pada Pemilu 2024 nanti didominasi oleh Generasi Z dan milenial yaitu sebesar 55% (sumber: kpu.go.id). Para kandidat capres maupun cawapres perlu mempertajam lagi dalam komunikasi politik sehingga mereka bisa meraih kepercayaan dan keyakinan pemilih dari generasi muda.
Cek Berita dan Artikel KalderaNews.com lainnya di Google News
*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu. Tertarik menjalin kerjasama dengan KalderaNews.com? Silakan hubungi WA (0812 8027 7190) atau email: kalderanews@gmail.com
Leave a Reply