Kemenaker: Lulusan Perguruan Tinggi Dominasi Pekerjaan di Perkotaan

Wisuda mahasiswa
Wisuda mahasiswa (KalderaNews/Ist)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com – Data Kemenaker menyatakan lulusan perguruan tinggi masih mendominasi lapangan pekerjaan di perkotaan.

Demikian dikatakan Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Prof. Anwar Sanusi.

Maka perguruan tinggi, katanya, memiliki peran penting dalam ketenagakerjaan, lantaran konsekuensi setelah lulus perkuliahan adalah masuk ke dunia kerja.

Namun, data yang dimiliki Kemenaker menyatakan bahwa lulusan perkuliahan masih mendominasi lapangan pekerjaan di perkotaan.

BACA JUGA:

lulusan perguruan tinggi jarang kembali ke desa

Artinya, mereka yang sebetulnya dari desa, dan diberikan kesempatan pendidikan ke kota, jarang kembali ke desanya.

“Nah kami berkomitmen untuk menjadikan desa ini sebagai pusat-pusat ekonomi, sehingga terjadi relasi antara desa dan perkotaan,” kata dia

Anwar Sanusi menyebutkan, sebanyak 75,63 persen lulusan universitas memilih bekerja di perkotaan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023.

Hal ini tentu berimplikasi pada program pengembangan desa oleh pemerintah yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Bahkan, jika dilihat dalam konteks segmentasi jenis pekerjaannya, 86,91 persen pekerja berpendidikan tinggi hanya tersebar di sektor formal tersier, seperti bidang perdagangan dan jasa.

Sementara sektor primer, seperti pertanian yang justru menjadi tumpuan kesejahteraan masyarakat dari segi bahan pangan mengalami penurunan.

Anwar mengatakan, terjadi de-agrikulturisasi dalam distribusi pekerja lulusan universitas. Bila dibiarkan, produksi pangan dikhawatirkan melemah dan krisis pangan akan terjadi.

“Data ini kalau diagregatkan dengan seluruh data ketenagakerjaan sebenarnya agak berbeda. Mayoritas masyarakat yang bekerja di sektor informal, terutama masyarakat pedesaan,” tegas dia.

Mereka ini kelompok rentan karena tidak mendapat perlindungan dan hak-hak ketenagakerjaan.

Selain itu, sektor sekunder yang sebenarnya memiliki potensi besar pun juga kurang diminati oleh lulusan perguruan tinggi.

Anwar menekankan, contoh paling besar adalah dinamika di bidang pertanian, di mana intervensi dan program pengembangan yang dilakukan masih belum cukup untuk mengangkat potensi sektor pertanian desa.

Hambatan itu dinilai cukup berisiko dalam menghadapi bonus demografi penduduk di 2045, ketika 72 persen penduduk memasuki usia produktif.

Sebagai contoh, Jepang itu sudah 49 tahun produktif. Artinya, sedikit lagi negara Jepang akan memasuki masa penduduk usia tua. Sehingga masyarakatnya hanya sedikit yang produktif.

“Kalau kita bisa mengelola dengan baik akan menjadi berkah, kalau tidak akan menjadi musibah. Pertama, kalau seandainya periode keemasan ini bisa kita lakukan dengan baik, maka ketika dependency ratio ini meningkat, kita memiliki akumulasi saving yang cukup,” jelas Anwar.

Tren pekerjaan Gen Z

Selain segmentasi sektor pekerjaan dan produktivitas, isu ketenagakerjaan lain muncul jika melihat tren pekerjaan di kelompok Gen Z.

Saat ini berbagai sektor pekerjaan, khususnya perkantoran menerapkan sistem Digital Nomad atau Work From Anywhere (WFA).

Pekerja tidak dituntut untuk menetap di kantor, melainkan dibebaskan bekerja di mana saja selama terhubung dengan internet.

Bahkan beberapa praktik dilakukan selama bertahun-tahun bekerja di luar kantor, lalu memutuskan tinggal di tempat tujuan tersebut. Metode ini banyak diminati oleh Gen Z di sektor pekerjaan tersier perkotaan.

Gen Z jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, itu jauh sekali perbedaannya. Mereka memiliki kemampuan digital knowledge dan bahasa asing yang luar biasa, tapi mereka tidak loyal.

“Makanya konsep yang kita usung dalam ketenagakerjaan adalah paid based on hours. Ini yang sebenarnya mencoba diberikan oleh UU Ketenagakerjaan. Jadi, bukan melemahkan, tapi justru mengantisipasi ke depannya, bahwa nantinya pekerja tidak lagi dibayar sesuai upah bulanan, melainkan per jam,” jelas Anwar.

Penyesuaian sistem tersebut tentunya tidak bisa dilakukan secara cepat dan mudah, mengingat masyarakat sudah terbiasa dengan sistem upah bulanan.

Tentunya, perlu adanya perumusan sistem yang lebih baik sesuai dengan kondisi yang ada.

Melalui langkah ini, sistem ketenagakerjaan diharapkan mampu membentuk masyarakat produktif yang mendapatkan jaminan penuh atas kesejahteraan dan hak-hak tenaga kerjanya.

Cek Berita dan Artikel KalderaNews.com lainnya di Google News

*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmuTertarik menjalin kerjasama dengan KalderaNews.com? Silakan hubungi WA (0812 8027 7190) atau email: kalderanews@gmail.com




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*