Viral, Toko Buku Gunung Agung Tutup, Ternyata Begini Sejarahnya

Toko Buku Gunung Agung. (Ist.)
Toko Buku Gunung Agung. (Ist.)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com – Toko Buku Gunung Agung tutup semua sisa toko atau outlet mereka pada tahun ini. Padahal menyimpan sejarah yang panjang.

Keputusan ini diambil, lantaran PT Gunung Agung Tiga Belas, pengelola Toko Buku Gunung Agung tidak dapat bertahan dengan tambahan kerugian operasional per bulan yang semakin besar.

Kabar Toko Buku Gunung Agung tutup pun langsung menjadi topik perbincangan warganet. Tanda pagar “Gunung Agung” berada di daftar trending topik di Twitter.

BACA JUGA:

Toko Buku Gunung Agung memiliki sejarah yang panjang. Toko buku ini tercatat sebagai salah satu penerbitan swasta yang berdiri di awal kemerdekaan Indonesia.

Sejarah Toko Buku Gunung Agung

Toko Buku Gunung Agung berdiri pada 1953 oleh Tjio Wie Tay yang juga dikenal sebagai Haji Masagung.

Awalnya Tjio Wie Tay membentuk kongsi dagang dengan Lie Tay San dan The Kie Hoat bernama Thay San Kongsie pada 1945.

Saat itu barang yang diperdagangkannya adalah rokok. Tapi, melihat permintaan buku-buku di Indonesia sangat tinggi, Thay San Kongsie kemudian membuka toko buku impor dan majalah.

Kios mereka cukup sederhana dan berlokasi di Jakarta. Namun, toko buku Tay San Kongsie lebih baik dibandingkan toko buku asing.

Keuntungan buku lebih besar daripada penjualan rokok dan bir yang awalnya ditekuni Tay San Kongsie.

Kongsi ini pun menutup usaha rokok dan bir lalu beralih fokus ke toko buku.

Pada 1951, Tjio Wie Tay membeli rumah sitaan Kejaksaan di Jalan Kwitang Nomor 13, Jakarta Pusat. Rumah itu ditata dan dibuat percetakan kecil pada bagian belakang.

Seiring perkembangan bisnis yang semakin besar dan kompleks di awal tahun pasca kemerdekaan, Tjio Wie Tay mendirikan perusahaan baru yang menerbitkan dan mengimpor buku, bernama Firma Gunung Agung pada 1953.

Dengan modal Rp 500.000, Gunung Agung mampu memamerkan 10.000 buku, jumlah yang sangat fantastis pada masa itu.

Setahun kemudian, Tjio Wie Tay kembali memprakarsasi pameran buku lebih megah bernama Pekan Buku Indonesia 1954.

Pada pameran buku ini, Gunung Agung memulai tradisi penyusunan bibliografi (daftar buku lengkap) dalam bentuk katalog.

Bahkan, Gunung Agung membentuk tim khusus bernama Bibliografi Buku Indonesia yang dipimpin oleh Ali Amran yang juga menjadi kepala Bagian Penerbit PT Gunung Agung.

Perkenalan dengan Presiden Sukarno

Lewat Pekan Buku Indonesia 1954, Tjoe Wie Tay berkenalan dengan Sukarno dan Hatta.

Dari perkenalan ini, Gunung Agung dipercaya untuk menggelar pameran buku di Medan dalam rangka Kongres Bahasa tahun 1954.

Bisnis Gunung Agung kemudian semakin membesar yang ditandai dengan pendirian gedung berlantai tiga di Jalan Kwitang Nomor 6. Gedung ini diresmikan langsung oleh Bung Karno pada 1963.

Pada tahun yang sama, Tjoe Wie Tay mengubah namanya menjadi Masagung.

Salah satu hal bersejarah terkait buku oleh Gunung Agung ialah penerbitan buku autobiografi Sukarno yang ditulis oleh Cindy Adams, seorang jurnalis Amerika Serikat.

Buku itu berjudul “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat”.

Selama 70 tahun berdiri, Toko Buku Gunung Agung tersebar di 10 kota besar di Pulau Jawa. Di Jabodetabek saja ada 20 Toko Buku Gunung Agung.

Pandemi Covid-19 memukul telak bisnis Toko Buku Gunung Agung. Ia harus menutup beberapa toko mereka yang berlokasi di Surabaya, Semarang, Gresik, Magelang, Bogor, Bekasi dan Jakarta.

Cek Berita dan Artikel KalderaNews.com lainnya di Google News

*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmuTertarik menjalin kerjasama dengan KalderaNews.com? Silakan hubungi WA (0812 8027 7190) atau email: kalderanews@gmail.com




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*