Duh, Suhu yang Naik Sejak Tahun 1980 Ternyata Memang Tidak Pernah Turun Lagi

Ilustrasi: Tidak benar gelombang panas sedang terjadi di Indonesia. (KalderaNews.com/Ist.)
Ilustrasi: Tidak benar gelombang panas sedang terjadi di Indonesia. (KalderaNews.com/Ist.)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, Kalderanews.com – Peneliti Ahli Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Erma Yulihasti menegaskan sejak tahun 1980 sampai sekarang ini para ilmuwan dunia memperhatikan bahwa peningkatan suhu yang naik sejak tahun tersebut tidak pernah turun lagi.

Dari sinilah para ilmuwan kemudian menemukan bahwa konsentrasi CO2 menjadi jawaban atas tidak menurunnya temperatur global.

Erma menggambarkan bahwa sejak saat itu manusia tidak berada lagi pada ranah variabilitas iklim, melainkan ranah perubahan iklim.

BACA JUGA:

Perkiraan pemanasan global sampai dengan Februari 2023 adalah 1,21 derajat celsius dan karena kita ini sudah berada didomain perubahan iklim maka tidak akan pernah ada lagi penurunan dan itulah yang ingin diredam untuk memperlambat laju kenaikannya.

Lebih lanjut dirinya mengatakan bahwa setiap wilayah merespon perubahan iklim dengan berbeda-beda. Menurutnya, parameter apa yang paling sensitif berubah dan daerah mana yang paling sensitif adalah yang harus dipetakan.

“Kami di BRIN melakukan kajian itu sehingga pertama yang ingin kami lihat itu indikasinya kalau ada perubahan iklim berarti ada perubahan dipola musim dan pola cuaca. Itu yang ingin kami deteksi. Itu yang ingin kami kaji,” tuturnya.

Selain perubahan musim yang telah terjadi di Indonesia selama dua dekade terakhir, indikasi perubahan iklim juga dapat ditunjukkan dengan pola cuaca yang mengalami perubahan karena tak lagi sesuai dengan tipe-tipe cuaca berdasarkan musim.

Akibatnya, pola cuaca ekstrem pun berubah, ungkap Erma. Cuaca ekstrem ditunjukkan melalui frekuensi hujan ekstrem yang kerap terjadi di wilayah Indonesia khususnya untuk wilayah Sumsel, Lampung, Jawa bagian barat dan tengah. Sementara itu, untuk wilayah Jawa bagian timur, Lombok, Bali, NTB, NTT, hujan ekstrem meningkat selama musim kemarau.

Selain itu, cuaca ekstrem mengalami eskalasi skala spasial yang semakin luas dan skala temporal yang lebih panjang sehingga membangkitkan kejadian ekstrem (extreme event) di atmosfer sehingga skala dampak yang ditimbulkan pun menjadi masif dan luas.

Menurut Erma, terdapat perbedaan antara cuaca ekstrem dan kejadian ekstrem. Cuaca ekstrem biasanya terjadi untuk skala yang lokal di suatu wilayah tertentu dan memiliki durasi kejadian yang singkat, kurang dari sejam atau maksimal sekitar dua hingga tiga jam.

Sementara itu, kejadian ekstrem secara waktu lebih lama karena memiliki setidaknya dua ciri: persisten atau bertahan lama dan sustain atau terus berlanjut. Secara skala spasial pun lebih luas karena mengacu pada gangguan cuaca skala sinoptik dalam rentang skala spasial ratusan hingga ribuan kilometer.

Selain itu, dampak merusak dari suatu kejadian ekstrem bersifat katastropik atau massal, dapat menelan korban ratusan bahkan ribuan jiwa.

Cek Berita dan Artikel KalderaNews.com lainnya di Google News

*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmuTertarik menjalin kerjasama dengan KalderaNews.com? Silakan hubungi WA (0812 8027 7190) atau email: kalderanews@gmail.com




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*