JAKARTA, KalderaNews.com — Sejumlah mahasiswa Indonesia di Jepang mengatakan merasa kesepian dan seperti terisolasi saat menjalankan ibadah puasa di luar negeri. Hal ini terutama terjadi pada saat pertama kali jauh dari keluarga dan menjalankan puasa di negara yang tidak memiliki tradisi merayakannya.
Hal itu, misalnya, dikisahkan oleh Cendikia Luthfita, mahasiswa doktoral di Jepang. Ini tahun keenam perempuan berusia 28 tahun itu melewatkan Ramadhan di negeri rantau.
“Di Indonesia, Anda sungguh dapat merasakan suasana Ramadhan,” kata dia, seperti ditulis oleh Japan Times.
“Anda dapat merasakan bagaimana warga sekitar menjadi relijius dan taat beribadah. Ini berbeda dengan di Jepang, seperti hari biasa saja,” kata dia.
BACA JUGA:
- Finlandia, Negara Paling Bahagia di Dunia 2023, Indonesia Urutan Berapa
- Terinspirasi Kakak Kelas, Jennifer Colin Siswi SMAK 1 Penabur Pemain Terbaik Road to KFC DBL Camp
- Viral di TikTok Kode Rahasia Guru Memberitahu Orang Tua Murid Kenakalan Anak Mereka
Pada saat pertama kali menjalaninya di Jepang, Cendikia mengakui merasa sangat terisolasi. Kontras antara kemeriahan di Indonesia dengan keharusan melakukan sendiri segala keperluannya di Jepang, menjadi salah satu pemicunya. Melihat keluarga dan teman-temannya di Indonesia mengirimkan foto-foto makanan dan kumpul-kumpul membuatnya rindu kampung halaman.
“Bagi saya, orang Indonesia sangat ramah,” ujarnya. “(Kurangnya) kehangatan itulah yang membuat saya hancur selama tahun pertama puasa di Jepang.”
Selama Ramadhan pertamanya di Jepang, Cendikia mengatakan dia memutuskan untuk mencari bantuan profesional mengatasi kesedihannya. Sejak itu, ia mengadopsi cara-cara baru untuk mengatasi perasaan rindu, termasuk mencari pertemanan dengan orang Indonesia lain yang tinggal di Jepang.
“Terkadang, mendengar bahasa Indonesia saja sudah cukup membuat saya bahagia,” ujarnya.
Psikolog klinis Felicia Nainggolan, yang dimintai pendapat oleh Japan Times, mengatakan kerinduan dan perasaan terisolasi adalah reaksi normal saat pindah ke luar negeri. Ia mengatakan bahwa dia menemukan banyak kasus seperti itu melalui pekerjaannya di TELL, sebuah layanan yang berfokus pada kesehatan mental yang melayani berbagai komunitas asing.
Nasihat Felicia Nainggolan adalah mengatur ulang harapan tentang merayakan hari raya di Jepang, mengenali lingkungan baru dan beradaptasi dengan menciptakan rutinitas yang berbeda.
Misalnya, dengan mencari dan menemukan sesama diaspora karena mereka sering mengadakan open-house dan acara berbuka puasa. Acara semacam itu bisa menjadi cara yang bagus untuk mengatasi kerinduan karena memberikan ruang yang aman bagi orang Indonesia untuk berbicara dalam bahasa ibu, berhubungan kembali dengan budaya sendiri dan terlibat dalam praktik keagamaan komunal.
Felicia merekomendasikan agar tetap menjaga komunikasi dan terlibat dalam aktivitas dengan teman sebaya — baik online maupun offline — sebagai cara untuk mengelola kesepian.
“Seringkali, perasaan rindu memicu kebutuhan untuk menarik diri dari semua orang,” katanya. “Yang terbaik adalah menjangkau dan tetap berhubungan (dengan teman dan keluarga). Jika perasaan terasing dan rindu kampung halaman masih ada, pertimbangkan untuk mencari bantuan profesional,” kata dia.
Tidak semua mengalami persoalan berat di tahun pertama seperti Cendikia. Jeihan Beutari Chalil, seorang mahasiswa tahun keempat di Universitas Ritsumeikan Asia Pasifik di Beppu, Prefektur Oita, lebih mudah menjelaskan praktik puasanya kepada manajer dan rekan kerja di pekerjaan paruh waktunya di restoran.
“Manajer saya memberi saya waktu istirahat ekstra di malam hari sehingga saya bisa berbuka puasa di antara jam kerja,” kata wanita berusia 21 tahun itu, seraya menambahkan bahwa dia bersyukur rekan kerjanya sangat mendukung kebutuhan religiusnya. Mereka bahkan memastikan agar dia tidak bekerja terlalu keras selama berpuasa.
Seperti yang dikatakan Cendikia, Jeihan menyadari Idul Fitri hanyalah hari biasa di Jepang. Jeihan tetap kuliah dan bekerja di sela salat Idul Fitri dan hari raya. Kurangnya suasana perayaan di Beppu, mendorong dia belajar memanfaatkan Ramadhan dan Idul Fitri dengan mengadakan jamuan makan malam bersama teman-teman.
“Kami biasanya membuat perayaan kecil di apartemen teman,” katanya. “Ini seadanya, jadi semua orang akan membawa makanan mereka sendiri.” Jeihan menambahkan bahwa teman-teman non-Muslimnya juga ikut serta membawa hidangan untuk merayakannya.
Cek Berita dan Artikel KalderaNews.com lainnya di Google News
*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu. Tertarik menjalin kerjasama dengan KalderaNews.com? Silakan hubungi WA (0812 8027 7190) atau email: kalderanews@gmail.com
Leave a Reply