Cerita Mahasiswi Selandia Baru Makan di Warteg Pertama Kali

Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com — Selama enam minggu Isabella Cleary berada di Indonesia.

Mahasiswi Program Pasca Sarjana Jurnalisme Universitas Massey, Selandia Baru, ini menjalani program magang praktik jurnalisme profesional sebagai bagian dari program Australian Consortium of in-Country Indonesian Studies (ACICIS).

Selain itu ia juga menjalani magang di Economic Research Institute for ASEAN and East Asia di Jakarta. 

Program-program ini difasilitasi oleh Asia New Zealand Foundation.

Isabela menemukan sejumlah pengalaman unik selama di Indonesia. Ia menuangkannya dalam sebuah esai ringan di situs Asia Media Center, yang berafiliasi dengan Asia New Zealand Foundation.

Berikut ini cuplikan pengalamannya.

Hari Pertama Sarapan di Warteg di Glodok

Saya tidak tahu akan bagaimana kisah cinta yang saya alami ketika saya mengambil langkah pertama saya ke landasan Bandara Internasional Soekarno-Hatta.

Yang saya tahu hanyalah panas menampar wajah saya, ransel baru saya menggerus  bahu saya dan segerombolan pengemudi tersenyum kepada saya di luar bandara, menyeringai dan berkata Miss, Miss, taksi! Anda butuh tumpangan?

Keesokan paginya ketika saya bangun di penginapan saya di Glodok, Jakarta, yang saya tahu hanyalah Warteg bercat hijau tempat saya sarapan pertama kali. Ia berada di tepi jalan dan gerobak dorong penjual sayuran berada di depannya, dengan  ikan kering digantung dekat jendela Warteg.

Saya duduk di bangku di dalam Warteg dengan sepiring penuh nasi, sup sayuran, dan es teh untuk melawan butir-butir keringat yang mengalir di wajah saya. Keluarga pemilik warteg menertawakan saya sepanjang waktu dari belakang konter, dan ketika saya pergi, mereka menyeringai dan mengangkat tangan sebagai tanda selamat jalan.

BACA JUGA:

Bu Ima, Guru Bahasa yang Lucu

Saya tahu saya menyukai kelas bahasa (Indonesia) saya, 11 dari kami dengan lutut terjepit di bawah meja kecil yang dibuat untuk orang-orang yang lebih kecil, guru kami Ibu Ima melompat-lompat di sekitar ruangan dan membuat proses biasa untuk mulai belajar bahasa menjadi menyenangkan, menghibur dan kadang-kadang  benar-benar histeris. Lewat gelak tawa kami belajar seni bahasa Indonesia.

Belajar bahasa ini berarti saya tahu bagaimana memperkenalkan diri dan bagaimana mengatakan ‘tidak, terima kasih,’ saya tidak ingin gula dalam kopi saya. Itu sama berartinya   ketika kami terjebak banjir bandang di pinggir jalan bersama seorang teman kami yang tahu bagaimana berbicara dengan tiga gadis di toko pinggir jalan dan meminta untuk menanyakan nama mereka, berapa umur mereka, apakah mereka tinggal di sana, apa pekerjaan mereka? Mereka cekikikan histeris di sela-sela menjawab, menyembunyikan wajah mereka di balik telapak tangan dan bertanya apakah kami sudah menikah.

Di penempatan saya di Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), saya mengenal tim saya yang luar biasa, yang mengajak saya makan sepiring gado-gado, sate, dan hidangan nasi dan mie yang tak terhitung jumlahnya.

Mereka ingin tahu tentang Selandia Baru dan kami bertukar cerita tentang keluarga, pekerjaan, teman, dan makanan. Saya belajar tentang kompleksitas masalah polusi plastik di Asia Tenggara, dan bagaimana sektor limbah informal memainkan peran yang sangat besar dalam pergerakan dan aliran plastik.

Bertemu Pemulung di Bogor

Pada minggu terakhir, seorang teman  dan saya naik kereta api dari kota ke Bogor, di mana kami mewawancarai dua ‘pemulung’ perempuan berusia delapan puluh tahun, untuk cerita yang akan dibagikan pada hari perempuan internasional.

Mereka berkeliling beberapa kali sehari untuk mengumpulkan sampah dan sampah plastik yang dibuang dan memilahnya ke dalam kategori yang dapat didaur ulang. Ada  air mata selama wawancara ini dan saat-saat di mana saya mendapati diri saya menatap mata para wanita ini, membayangkan kehidupan mereka jauh dari dunia saya. Hidup di mana mereka tidak memiliki akses ke pendidikan, menikah pada usia 19 tahun, memiliki tiga anak pada saat mereka seusia saya.

Saya sangat tersentuh oleh para wanita ini, dan orang lain yang saya temui di sepanjang jalan.

Semakin banyak saya belajar tentang Indonesia, semakin saya sadar ada yang perlu diketahui. Dalam enam minggu penuh gejolak yang dihabiskan untuk menyelam ke tempat yang begitu kaya akan budaya dan kepribadian, itu benar-benar hubungan cinta yang tidak pernah saya duga dan sekarang tidak akan pernah bisa saya lupakan.

Pengalaman dan keterampilan yang Anda dapatkan saat menavigasi diri Anda sendiri di negeri asing sangat berharga, dan di perairan tenang saat kembali ke rumah, saya merasa sangat berterima kasih kepada semua orang yang mewujudkannya. Yang saya tahu sekarang adalah bahwa saya akan kembali suatu hari nanti, hanya masalah waktu.

Cek Berita dan Artikel KalderaNews.com lainnya di Google News

*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu. Tertarik menjalin kerjasama dengan KalderaNews.com? Silakan hubungi WA (0812 8027 7190) atau email: kalderanews@gmail.com




1 Comment

  1. Saya terharu membaca artikel anda yang jauh dari rumah dan berjuang menempuh pendidikan dan saya secara pribadi teranjurkan bahwa tidak buruk untuk berjuang di perantauan karena semua akan ada manfaat besar di kemudian hari untuk dikembangkan dan menghibur orang lain. Terimakasih atas cerita anda.

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*