JAKARTA, Kalderanews.com — New York University (NYU) dikenal sebagai universitas global. Jaringan kampusnya tersebar mulai dari New York, Washington, hingga ke Berlin, Abu Dhabi, Tel Aviv, Shanghai dan banyak lagi.
Tahun 2023, NYU berada di peringkat 39 dunia, menurut QS World University Ranking dan peringkat 26 menurut Times Higher Eeducation (THE).
Universitas ini ternyata telah memberi kesempatan terhormat bagi para diaspora Indonesia untuk menapaki karier.
Menurut riset Kalderanews, saat ini terdapat paling tidak tiga profesor yang merupakan diaspora Indonesia di universitas yang berdiri sejak 1831 ini. Penelitian dilakukan dengan menelusuri informasi yang tersedia di situs resmi universitas tersebut.
BACA JUGA
- Mahasiswa Indonesia Kembali Tunjukkan Prestasi Istimewa di Hesston College Kansas
- Mengapa Keluarga Mampu Indonesia Tetap Getol Cari Beasiswa? Ini Jawabnya
- AS Akhirnya Batalkan Aturan Imigrasi yang Haruskan Mahasiswa Asing Kuliah Tatap Muka
Menurut data, terdapat sedikitnya delapan juta diaspora Indonesia.
Merujuk situs Indonesian Diaspora Network, diaspora Indonesia dapat dibagi dalam empat kelompok.
Pertama, WNI yan tinggal di luar negeri atau masih memegang paspor Indonesia secara sah.
Kedua, Warga Indonesia yang telah menjadi warga negara asing karena proses naturalisasi.
Ketiga, Warga negara asing yang memiliki orang tua atau leluhur berasal dari Indonesia.
Keempat, warga negara asing yang sama sekali tidak memiliki pertalian leluhur dengan Indonesia, namun memiliki kecintaan luar biasa terhadap Indonesia.
Berikut ini tiga diaspora Indonesia yang menjadi profesor di New York University.
Eduardus Halim
Eduardus Halim adalah profesor Musik untuk Studi Piano, dan Sascha Gorodnitzki Faculty Chair untuk Studi Piano, di NYU Steinhardt, NYU. Pria yang terlahir di Bandung ini dikenal sebagai performer dan pedagog. Ia telah tampil dengan berbagai orkestra ternama seperti Baltimore Symphony, Chicago Symphony, Cleveland Orchestra, Detroit Symphony, Malaysian Philharmonic, dan Russian National Orchestra.
Eduardus Halim juga telah menyajikan resital di Alice Tully Hall dan 92nd Street Y di New York dan di Kennedy Center di Washington. Penghargaan yang diterimanya termasuk Young Concert Artists International Auditions serta Avery Fisher Career Grant.
Karya musiknya juga telah masuk dapur rekaman. Di antaranya, “Presenting Eduardus Halim: A Program of Piano Transcriptions,” direkam di bawah label Arabesque. Dua rekaman disknya, direkam pada label Reservoir Studio Productions; satu menampilkan karya Grandos dan satu lagi dikhususkan untuk karya Chopin.
Eduardus Halim memulai pelajaran pianonya pada usia 6 tahun dengan Alfons Becalel, dan melanjutkan pelatihan musiknya dengan pedagog P.I. Ibrahim dan Stephen Sulungan. Dia memainkan Beethoven Piano Concerto No. 3 di depan umum pada usia 11 tahun dan melakukan debut resitalnya ketika dia berusia 13 tahun.
Pada usia 19 tahun, dia masuk ke Juilliard School dengan beasiswa penuh, belajar dengan Sascha Gorodnitzki dan Rudolf Firkusny. Ia memulai karier profesionalnya pada tahun 1989 setelah memenangkan Young Concert Artists International Auditions.
Sebagai solois muda, interpretasinya dipandang berani terhadap repertoar Romantis, sehingga menarik perhatian Harold C. Schonberg, penulis “The Great Pianists from Mozart to the Present”, dan mantan kepala kritikus musik New York Times.
Dia telah berkolaborasi dengan banyak konduktor ternama, seperti Kees Bakels, Herbert Blomstedt, Sergiu Comissiona, Andreas Delfs, JoAnn Falletta, Hans Graf, Gunter Herbig, Jahja Ling, Jesús López-Cobos, Gerard Schwarz, Leonard Slatkin, Vladimir Spivakov, Mario Venzago dan David Zinman.
Penampilannya di berbagai festival antara lain di Ravinia, Grant Park, Newport, Stockholm, the Baltimore Symphony Summer Musicfest, the Britt Festival, the Bravo! Vail Valley Music Festival, the Minnesota Orchestra’s Viennese Sommerfest, dan Wyoming’s Grand Teton Festival.
Pendekatannya yang unik terhadap piano dikombinasikan dengan personalitasnya yang berkharisma membuat profil dirinya telah dimuat di media internasional, seperti The New York Times (Arts & Leisure), The New York Times Magazine, Vogue, Vanity Fair, Piano Quarterly dan Clavier.
Azhar Zam
Azhar Zam adalah associate professor Bioengineering and Biomedical Engineering, New York University Abu Dhabi. Selain itu diaspora Indonesia ini juga associated faculty pada Department of Biomedical Engineering, NYU Tandon School of Engineering di New York.
Azhar Zam meraih gelar S1 bidang Medical Physics dari Universitas Indonesia. Gelar M.Sc. di bidang Biomedical Engineering dia peroleh dari University of Luebeck, Jerman, sedangkan gelar PhD di bodang Engineering ia raih di Friedrich-Alexander-University Erlangen-Nuremberg, Jerman.
Dia adalah pendiri dan direktur Laboratory for Advanced Bio-Photonics and Imaging (LAB-π) di NYUAD.
Riset Dr Zam berfokus pada pengembangan piranti canggih untuk gambar, diagnosa dan monitoring medis menggunakan teknologi optik mutakhir.
Dr. Zam adalah associate editor rubrik Biophotonics pada Frontiers in Photonics dan editor rubrik Retina pada Frontiers in Ophthalmology. Ia telah menulis 85 artikel ilmiah maupun bab dalam buku. Ia juga pemegang beberapa hak paten.
Sebelum bergabung dengan NYUAD, Dr Zam berkarier sebagai asisten profesor di University of Basel, Swiss. Karier akademis lainnya meliputi sebagai peneliti di University of Waterloo, Kanada National University of Ireland Galway, Irelandia, Toronto Metropolitan University Toronto, Kanada, dan University of California at Davis, Davis, AS.
Linda Sormin
Linda Sormin adalah Associate Professor di bidang Art Studio di NYU Steindhart, New York University. Perempuan berdarah (Batak) Toba ini dikenal sebagai seniman yang mengeksplorasi kerentanan, pergolakan, dan perubahan melalui patung dan instalasi yang responsif terhadap lokasi.
Karya seninya telah dipamerkan di Wuchangshuo Memorial Hall (Shanghai, China), Jogja National Museum (Yogyakarta, Indonesia), Bluecoat Art Gallery (Liverpool, UK), dan Entrée Gallery (Bergen, Norwegia). Dia telah menyumbangkan satu bab dalam “Contemporary Clay and Museum Culture”(Routledge, 2019), dan menjadi pembicara utama di Restating Clay (York, UK) dan Clay Matters (Hasselt, Belgia).
Linda Sormin dilahirkan di Bangkok, berkewarganegaraan Kanada dan menetap di New York. Meskipun tidak dilahirkan di Indonesia, ia selalu membanggakan darah Indonesia yang mengalir pada dirinya. Karya-karyanya banyak mengangkat tema budaya leluhurnya, Toba, dipadukan dengan perspektifnya sebagai perantau yang berpindah dari satu budaya ke budaya lain. Kerapuhan, agresi, mobilitas dan kehendak untuk sintas, banyak diangkatnya lewat instalasi keramik yang jadi keunggulannya.
Linda Sormin belajar sastra dan keramik di Andrews University, Sheridan School of Craft & Design, dan Alfred University, New York.
Demikian informasi singkat tentang diaspora Indonesia yang menjadi profesor di New York University. Apakah Anda punya informasi tentang para diaspora yang dapat menjadi inspirasi dan membuat bangga Indonesia? Ceritakan kepada kami ya!.
Cek Berita dan Artikel KalderaNews.com lainnya di Google News
*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu!
Leave a Reply