SURABAYA, KalderaNews.com – Pemerintah Kota Surabaya dan Dinas Pendidikan Surabaya menetapkan akan melakukan penghapusan Pekerjaan Rumah (PR) murid jenjang SD-SMP dimulai 10 November 2022. Penghapusan PR ini dilakukan sebagai langkah mengurangi beban pembelajaran bagi murid.
Menanggapi kebijakan ini, Konselor Anak di Sekolah Cikal Surabaya, Nerinda Rizky Firdaus, M.Si atau yang biasa dipanggil Ms. Nerin menegaskan orang tua dan juga pendidik di sekolah harus memahami esensi dan urgensi dari PR itu sendiri sehingga tidak membebani anak. Tanpa PR, tentu kegiatan bersama orang tua di rumah akan lebih banyak dieksplorasi bersama keluarga.
Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa istilah pekerjaan rumah itu dibentuk dalam pendidikan sebagai langkah untuk membiasakan anak belajar di rumah dan membangun rutinitas belajar itu sendiri. Namun, seiring berjalan waktu, PR menjadi langkah untuk penyelesaian tugas sekolah di rumah yang mendorong peningkatan beban.
BACA JUGA:
- Polemik Penghapusan PR Sekolah di Surabaya, Begini Tanggapan Menteri Nadiem
- Pemkot Surabaya Hapus Pekerjaan Rumah (PR) Siswa SD dan SMP, Ternyata Ini Gantinya
- Cabe Rawit Surabaya! Lavinia Jesslyn Prayogo, Kecil-kecil Jago Matematika
“Jika menelusuri awal mula PR itu terbentuk maka awalannya adalah untuk membiasakan anak belajar di rumah, membuat rutinitas belajar di rumah, memudahkan orang tua memonitor anak mengenai proses belajarnya di sekolah, dan ada pula yang meraih nilai (PR itu sebagai tugas yang dinilai, kalau tidak mengerjakan, maka nilainya dapat berkurang dan sebagainya).”
“Namun jika bicara tentang PR dan kaitannya dengan upaya memberikan tantangan pengembangan diri dan kompetensi anak, maka sebetulnya anak-anak itu sendiri akan tertantang bukan karena PR ya. Kenapa? Karena bagi sebagian anak PR itu malah menjadi beban,” ujar pengampu program Personal and Social Education (PSE) jenjang SD tersebut.
Nerinda menuturkan bahwa usulan penghapusan PR sebagai tugas sekolah yang dibawa ke rumah menjadi salah satu langkah yang tepat untuk direfleksikan bersama bagi semua pihak.
“Bagi saya sendiri untuk membangun kebiasaan anak belajar mencari atau memilih tantangan atau membangun motivasi internal belajar bukan dengan PR, tetapi dengan pembelajaran bermakna yang memang diberikan dan adanya diferensiasi di kelas, baik itu topik belajar, pertanyaan yang memantik rasa ingin tahu anak, lalu juga penjelasan pentingnya belajar suatu topik apa kegunaan di kehidupan nyata, dan keterkaitannya di lingkungan atau diri sendiri,” ucapnya.
Ia juga menceritakan dan menjelaskan bahwa dengan usulan ini penerapan kegiatan yang memang diberikan kepada anak “hanya untuk dilakukan di rumah bersama keluarga” akan lebih banyak tentu dilakukan bersama.
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply