JAKARTA, KalderaNews.com – Perguruan Tinggi Swasta (PTS) perlu mendapat perhatian yang lebih serius dari seluruh pihak dalam rangka meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan tinggi.
“Meskipun terdapat beberapa PTS yang memiliki peringkat terbaik, namun dari 4.475 PTS yang ada, mayoritas PTS dalam kondisi yang kurang sehat dan kesulitan dalam operasionalnya,” tegas Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih di Universitas Dian Nuswantoro Semarang (UDINUS), Jumat, 30 September 2022.
Laporan Panja Standar Nasional Pendidikan Tinggi Komisi X DPR-RI tahun 2019, Kemenristekdikti RI, menyebutkan bahwa dari 3.128 PTS dibawah pembinaannya, 14% diantaranya dikategorikan kurang sehat atau kesulitan operasional. Hingga tahun 2019, Kemenristekdikti RI menargetkan 1.000 PTS yang kurang sehat, sudah bergabung dengan PTS sehat.
BACA JUGA:
- Duh, Hanya 10 Persen PTS yang Sehat, Ternyata Pemerintah Juga Belum Adil
- Polemik RUU Sisdiknas, Asosiasi PTS Indonesia Ancam Demo Besar Akhir September
- KIP Kuliah Jalur Mandiri PTN dan PTS Dibuka Awal Juni 2022, Dapat Bantuan Uang Kuliah dan Uang Saku Lho
“Kondisi PTS yang tidak sehat tersebut antara lain tidak bisa menjalankan operasionalnya atau tidak sesuai Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Menurut APTISI, jika dilakukan pembinaan terus menerus, PTS yang bermasalah ini bisa meningkatkan mutunya, memenuhi standar nasional, (Laporan Panja SNDikti 2019),” ungkapnya.
Abdul Fikri Faqih juga sampaikan upaya-upaya PTS untuk meningkatkan sarana dan prasarana, mutu dosen, mutu lulusan harus dapat didukung oleh pemerintah. Tantangan bagi PTS adalah bagaimana seluruh proses pendidikan dijamin dengan manajemen mutu yang baik.
“Perguruan tinggi selain perlu didukung melalui penelusuran bakat dan minat sejak dini, yang paling penting adalah dorongan agar PTS dapat mengembangkan diri menjadi universitas riset untuk menghasilkan jurnal, paten dan HAKI,” ujar Abdul Fikri Faqih.
“Dalam rangka memenuhi tuntutan SDM tersebut maka dunia pendidikan, terutama pendidikan tinggi, dituntut dapat menjamin mutu dan kualitas pendidikan tinggi, tujuannya untuk menyiapkan SDM yang berpengetahuan dan trampil, berkarakter, bermoral dan bermental kuat, peduli serta bertanggungjawab,” ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi X DPR RI Zainuddin Maliki meminta pemerintah untuk mengevaluasi kembali kebijakan tentang akreditasi. Hal ini mengingat adanya keluhan dari universitas terkait akreditasi program studi yang kini beralih dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) menjadi ke Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM-PT). Diketahui, kini BAN-PT hanya melakukan akreditasi pada institusi perguruan tinggi, bukan program studi.
“Ini saya kira memang perlu dievaluasi ini, pemerintah itu saya kira perlu meninjau kembali ya kebijaksanaan tentang akreditasi ini,” ujarnya di Universitas Merdeka Malang pada Jumat, 30 September 2022.
Keluhan yang disampaikan oleh rektor PTN dan PTS yang mengemuka dalam pertemuan tersebut, di antaranya terkait dengan mahalnya biaya akreditasi yang dibebankan kepada universitas. Untuk akreditasi program studi, biaya yang dibebankan adalah Rp57,5 juta sedangkan untuk banding adalah sebesar Rp29,7 juta.
“LAM Dikti itu dengan (biaya akreditasi) Rp52 juta dan bisa dicicil itu dianggap ringan gitu, tetapi bagi perguruan tinggi yang kami dengar tadi itu merupakan beban yang luar biasa. Dan kalau kemudian hasil yang pertama itu masih harus banding, banding bayar lagi Rp29 juta.”
“Ini luar biasa, itu belum LAM kesehatan, LAM kedokteran yang bisa lebih dari Rp100 juta itu. Ini saya kira (biaya akreditasi) memang perlu dievaluasi ini, pemerintah itu saya kira perlu meninjau kembali (kebijakan akreditasi),” jelas Zainuddin.
Ia mendesak beban berat bagi universitas ini perlu ditelaah kembali. “Itu tentang akreditasi, saya kira itu perlu telaah kembali ya, di mana perguruan tinggi itu diberi kesempatan untuk menghindari beban yang berat itu, itu saya kira harus dipikirkan,” tutupnya.
Senada anggota Komisi X DPR RI Syamsul Luthfi meminta pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi agar dapat lebih memperhatikan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Sebab, Luthfi menilai, perkembangan PTS kini masih mengalami ketimpangan dibanding PTN (Perguruan Tinggi Negeri). Padahal, tidak hanya PTN, PTS pun juga memiliki peranan yang besar terhadap dunia pendidikan.
“Masih adanya dikotomi antara perguruan tinggi negeri dan swasta di mana dari porsi anggaran itu kan sangat timpang ya, terjadi disparitas swasta itu hanya mendapat 6% sementara negeri itu 94 persen. Kedepan kita ingin harus ada penyesuaian keberpihakan pemerintah terhadap perguruan tinggi swasta,” ujar Luthfi di Universitas Merdeka Malang
Keberpihakan tersebut, salah satunya adalah terkait dengan anggaran. Politisi Partai NasDem itu menilai, salah satu aspek kualitas pendidikan dapat dilihat dari anggaran yang diberikan, disamping kualitas dan tingkat kompetisi. Utamanya dalam menghadapi persaingan global. Mengingat di kancah global, perguruan tinggi di Indonesia masih berada pada peringkat yang rendah.
“Itu semua tidak terlepas dari keterbatasan dana pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah, kemudian competitiveness-nya masih rendah, kemudian quality dan equality-nya juga harus diperhatikan untuk masa-masa yang akan datang. Sehingga saran saya, Pak Menteri (Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi) harus fokus, jangan sedikit-sedikit mengubah kurikulum, mengubah kebijakan, karena penyesuaian terhadap kurikulum dan kebijakan itu membutuhkan waktu,” tandas Luthfi.
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply