Mengenal 7 Pahlawan Revolusi yang Gugur Kala Gerakan 30 September 1965

Ilustrasi: Monumen Lubang Buaya Jakarta. (KalderaNews.com/Ist.)
Ilustrasi: Monumen Lubang Buaya Jakarta. (KalderaNews.com/Ist.)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com – Sejarah kelam pernah terjadi di Indonesia. Salah satunya terjadi di tahun 1965, tepatnya 30 September 1965.

Gerakan yang lalu dikenal sebagai Gerakan 30 September atau G 30 S itu menewaskan 7 anggota militer Indonesia.

BACA JUGA:

Partai Komunis Indonesia (PKI) kerap disematkan sebagai dalang atas peristiwa tragis itu. Maka, peristiwa tersebut dikenal sebagai G 30 S PKI.

Tetapi belakangan singkatan PKI itu dihilangkan karena ada hipotesis sejarah yang mengatakan bahwa PKI bukanlah satu-satunya dalang atau bahkan tidak terlibat sama sekali dalam peristiwa tersebut.

Para peneliti sejarah yang tentu mesti membuat telaah-telaah ilmiah lebih lanjut tentang peristiwa 1965 itu.

Namun, dalam peristiwa pada 30 September 1965 itu setidaknya ada 7 tujuh korban yang tewas. Mereka tewas mengenaskan dan ditemukan di sumur Lubang Buaya.

Untuk menghormati jasa mereka, pemerintah pada 5 Oktober 1965 mengeluarkan surat Keputusan Presiden RI No III/Koti/Tahun 1965 yang mengumumkan bahwa tujuh korban ini mendapatkan pangkat anumerta serta dinyatakan sebagai Pahlawan Revolusi.

Nah, berikut daftar 7 Pahlawan Revolusi yang menjadi korban peristiwa G 30 S:

Jenderal Ahmad Yani

Jenderal Ahmad Yani lahir di Purworejo, Jawa Tengah pada 19 Juni 1922. Karier militer dimulai dengan mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor.

Ahmad Yani kemudian diangkat menjadi komandan Tentara Keamanan Rakyat di Purwokerto. Ia juga terlibat dalam beberapa operasi penting pasca-Indonesia merdeka.

Letjen Raden Suprapto

Letjen Raden Suprapto lahir di Purwokerto pada 20 Juni 1920. Ia pernah mengenyam pendidikan militer di Akademi Militer Kerajaan di Bandung.

Pada awal kemerdekaan, Suprapto turut aktif dalam perebutan senjata Jepang dan menjadi ajudan dari Panglima Besar Jenderal Sudirman.

Letjen Suprapto pernah menjabat sebagai Deputi Kepala Staf AD di Sumatra, Kepala Staf Tentara dan Teritorium IV Diponegoro di Semarang, dan pernah menjabat sebagai Deputi II Menteri/Panglima Angkatan Darat.

Letjen Siswondo Parman

Letjen Siswondo Parman lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, pada 4 Agustus 1918. Setelah Indonesia merdeka, Parman bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang menjadi cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia.

Parman pernah dikirim mengikuti Sekolah Militer di Amerika Serikat pada 1951. Ia juga pernah dikirim ke Inggris sebagai perwakilan Kedutaan Indonesia di sana.

Mayjen Mas Tirtodarmo Haryono

Mayjen Mas Tirtodarmo Haryono lahir di Surabaya, Jawa Timur, pada 20 Januari 1924.

Sebelum bergabung dengan kemiliteran, Haryono mengenyam pendidikan di Sekolah Kedokteran atau Ika Dai Gaku di Jakarta.

Berkat kelihaiannya dalam menguasai bahasa asing, Haryono kerap mengikuti perundingan yang diadakan Indonesia dengan pihak Belanda maupun Inggris.

Mayjen Donald Isaac Pandjaitan

Mayjen Donald Isaac Pandjaitan lahir pada 9 Juni 1925 di Balige, Tapanuli, Sumatra Utara. D.I Pandjaitan menjadi salah satu sosok yang membentuk Tentara Keamanan Rakyat dan diangkat menjadi Komandan Batalyon.

Sederet posisi penting pernah diembannya. Sebut saja Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi, Kepala Staf Umum IV Komandan Tentara Sumatera, dan pernah ditugaskan sebagai atase Militer RI di Bonn, Jerman Barat.

Mayjen Sutoyo Siswomiharjo

Mayjen Sutoyo Siswomiharjo lahir di Kebumen, Jawa Tengah pada 28 Agustus 1922. Setelah kemerdekaan Indonesia, Sutoyo bergabung dengan TKR pada bagian kepolisian dan menjadi anggota Corps Polisi Militer pada saat itu.

Selain menjabat sebagai Kepala Bagian Organisasi Resimen II Polisi Tentara di Purworejo, Sutoyo juga pernah menjadi ajudan dari Kolonel Gatot Subroto.

Kapten Pierre Tendean

Kapten Pierre Tendean lahir di Jakarta, 21 Februari 1939. Setelah lulus dari Akademi Militer pada 1962, ia lantas mendapatkan mandat untuk menjabat Komandan Peleton Batalyon Zeni Tempur 2 Komando Daerah Militer II/Bukit Barisan di Medan.

Tendean adalah salah satu ajudan Jenderal A.H Nasution yang kala itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata.

Sebenarnya, Jenderal A.H Nasution juga menjadi target dalam operasi ini. Tetapi, ia berhasil menyelamatkan diri. Tetapi, ajudannya Kapten Tendean yang menjadi korban.

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*