JAKARTA, KalderaNews.com – Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mendesak Kemendikbudristek mengungkapkan secara jujur dan terbuka terkait tunjangan profesi guru (TPG) di dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas).
Ketua Umum PGRI, Unifah Rosyidi mengatakan prihatin atas penghapusan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang lalu digabung ke dalam RUU Sisdiknas.
“Karena tidak ada lagi penghargaan kepada guru yang jumlahnya 3,1 juta orang sebagai profesi,” tegas Unifah Rosyidi.
BACA JUGA:
- Menteri Nadiem Sindir Para Pengritik RUU Sisdiknas, Yang Dilihat Hanya Permukaan Saja
- Nadiem Mengklaim Pemerintah Terbuka dan Transparan Terkait RUU Sisdiknas
- 17 Poin Penting dalam RUU Sisdiknas Versi Pemaparan Kemendikbudristek
Padahal, katanya, profesi lain diakui dalam sebuah UU, seperti UU 18/2003 tentang Advokat, UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU 38/2014 tentang Keperawatan, UU 11/2014 tentang Keinsinyuran, dan UU profesi lainnya.
Menurut Unifah Rosyidi, penghapusan guru sebagai sebuah profesi berarti menihilkan pengabdian serta kerja keras guru yang selama ini bertugas di seluruh pelosok negeri untuk mencerdaskan anak-anak bangsa.
“Bagi kami, UU Guru dan Dosen adalah Lex Specialis Derogat Legi Generali bagi profesi guru,” tutur Unifah Rosyidi.
Unifah Rosyidi juga mengatakan bahwa seiring dengan penghapusan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tunjangan profesi guru juga bakal dihapuskan.
Penghapusan tunjangan profesi guru adalah kebijakan yang sangat menyakitkan dan merendahkan profesi guru.
Unifah Rosyidi mengakui, tunjangan profesi bukan sekadar persoalan uang, akan tetapi sebuah penghargaan dan penghormatan negara terhadap profesi guru.
Ketua PGRI ini menyatakan, “Setiap guru dan dosen yang telah menerima tunjangan profesi, tunjangan khusus, dan/atau tunjangan kehormatan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebelum UU ini diundangkan tetap menerima tunjangan tersebut sepanjang masih memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
“Jadi, dalam pandangan kami, frasa sebelum UU ini diundangkan, artinya tunjangan profesi guru akan hilang, jika RUU Sisdiknas ini diundangkan,” paparnya.
Jika Kemendikbudristek bersungguh-sungguh akan tetap memberikan tunjangan profesi guru, maka frasa “sebelum undang-undang ini diundangkan” harus dihapus.
Unifah Rosyidi mendesak Kemendikbudristek menjelaskan secara secara jujur dan terbuka, mengapa muncul pemikiran untuk menghapus tunjangan profesi guru ini.
Kemendikbudristek secara lisan telah menyatakan bahwa pemberian tunjangan guru Aparatur Sipil Negara (ASN) akan mengacu kepada Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) berupa tunjangan fungsional.
Namun, kata Unifah Rosyidi, ketentuan tersebut tidak tercantum secara eksplisit dalam RUU Sisdiknas. Selain itu, tunjangan profesi berbeda dengan tunjangan fungsional yang melekat dalam jabatan/kepangkatan seseorang.
Adapun tunjangan profesi guru landasan hukumnya sangat kuat, yakni Pasal 16 Ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Lantaran tidak dinyatakan secara tertulis, maka menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru, apakah Kemendikbudristek bersungguh-sungguh akan memberikan tunjangan ‘fungsional’ untuk guru.
Apalagi dalam Pasal 82 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dinyatakan bahwa guru yang belum mendapat sertifikat pendidik wajib memiliki sertifikat pendidik paling lama 10 tahun sejak UU tersebut diberlakukan.
Ini artinya, persoalan sertifikat pendidik mestinya sudah selesai pada tahun 2015.
Tetapi kenyataannya, Kemendikbudristek mengakui, hingga 2022 masih ada 1,6 juta guru yang belum mendapat sertifikat pendidik.
“Jadi, siapa yang lalai dalam menjalankan amanat UU Guru dan Dosen?” ujar Unifah Rosyidi.
*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu!
Leave a Reply