JAKARTA, KalderaNews.com – Sekolah Santa Ursula Jakarta bersama Medusa Technology berencana membangun Metaverse Sekolah Santa Ursula.
Pembangunan Metaverse Sekolah Santa Ursula ditandai dengan penandatanganan MoU oleh Suster Moekti Gondosasmito, OSU sebagai Ketua III Yayasan Satya Bhakti dengan Medusa Technology.
Pembangunan Metaverse Sekolah Santa Ursula berawal dari misi Sekolah Santa Ursula menjadi komunitas pembelajar yang berkarakter Serviam, berwawasan global, dan berbasis teknologi.
BACA JUGA:
- Rayakan Hari Lahir Pancasila, Sekolah Santa Ursula BSD Kenalkan Nilai Pancasila Sejak Dini
- Kembangkan Pola Pikir Entrepreneurship, Kampus Santa Ursula Bandung Siap Hadapi Tantangan Abad 21
- Sekolah Santa Ursula BSD Ternyata Punya Lahan Hidroponik untuk Pembelajaran
Dari misi inilah Sekolah Santa Ursula Jakarta memutuskan untuk merambah metaverse dan mempersiapkan para guru untuk menghadapi era dunia virtual reality yang berbeda dengan era sebelumnya.
“Harapan kami pada pembangunan Metaverse Sekolah Santa Ursula adalah membantu siswa untuk semakin berkreasi, menjadi makin kreatif dan dapat mengikuti perkembangan zaman atau perkembangan teknologi. Dan untuk para guru supaya menjadikan pembelajaran jadi lebih menarik,” kata Suster Moekti.
Suster Moekti berharap, semua pengguna Metaverse Sekolah Santa Ursula dapat menggunakannya dengan bijak, untuk membantu dirinya berkembang secara utuh.
Selain melakukan pembangunan sekolah virtual dalam bentuk 3 dimensi yang bisa diakses siswa Sekolah Santa Ursula dari mana pun, Medusa Technology juga memberikan pelatihan cyber pedagogy buat para guru.
“Medusa Technology mengkhususkan diri untuk menjadi penyedia metaverse bagi dunia pendidikan, sehingga kami juga memberikan layanan pelatihan bagi guru untuk mempelajari cyber pedagogy, selain itu kami juga memberikan pelatihan gamifikasi belajar di dalam dunia virtual bagi guru-guru Sekolah Santa Ursula,” kata Project Manager Medusa Technology, Maria Magdalena.
Menurut Maria Magdalena, para siswa mengenal metaverse terlebih dahulu dibandingkan orang dewasa. Mereka telah memanfaatkannya untuk berkolaborasi dalam games bersama teman-temannya.
“Mereka adalah digital native, sehingga dalam bereksplorasi di dalam metaverse pun tidak akan mengalami kesulitan. Orang dewasalah yang sering mengalami kesulitan. Itu sebabnya jika ingin menjangkau mereka dalam aktivitas belajar, kita harus masuk ke dalam dunia mereka,” paparnya.
Sementara, Komisaris Medusa Technology, Richardus Eko Indrajit mengatakan, metaverse sebagai sarana belajar memiliki kelebihan dalam hal interaksi antarmanusia. Di dalam metaverse, wajah pengguna bisa didigitalisasi untuk membentuk avatarnya.
Selama berinteraksi pun, avatar yang sudah berwajah pengguna itu bisa memiliki ekspresi yang sama dengan manusia yang mengendalikannya. Misalnya, ketika pengguna menghadap ke kanan, avatarnya juga tampak menghadap ke kanan.
Interaksi belajar jarak jauh pun akan makin menyenangkan, karena siswa merasa seperti main games.
Selain kelebihannya dalam interaksi jika dibandingkan dengan platform meeting pada umumnya, metaverse memiliki kelebihan pada eksperimen dan eksplorasi ilmu yang tidak terbatas dan bersifat menyeluruh.
“Di laboratorium sekolah, yang dicampur ya zat yang itu-itu saja, berbeda dengan laboratorium metaverse. Di sini siswa bisa mengambil zat apapun. Kalau terjadi ledakan karena campuran itu sifatnya simulatif, dari situ siswa belajar bahwa zat tersebut tidak boleh dicampur, dan mereka belajar dalam kondisi yang aman,” jelas Richardus Eko Indrajit.
Pada awalnya dulu, metaverse memang dimaksudkan untuk bertemu, berkolaborasi dalam berbagai bidang, role-playing, bahkan penelitian, namun sekitar tahun 2015 mulai banyak kampus-kampus di dunia yang melirik metaverse sebagai tempat belajar.
“Sehingga penggunaan metaverse di sekolah-sekolah Indonesia sangat layak dipertimbangkan,” ujar Maria Magdalena yang telah aktif dalam komunitas pendidik internasional di metaverse sejak 2010.
*Jika artikel ini bermanfaat, silakan dishare kepada saudara, sahabat dan teman-temanmu.
Leave a Reply