JAKARTA, KalderaNews.com – Sampah antariksa adalah bekas roket atau pecahan roket yang bertabrakan, bisa juga satelit yang sudah tidak beroperasi. Jumlahnya saat ini sudah sekitar 20.000 lebih.
Demikian diungkapkan Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika Pusat Riset Antariksa BRIN Thomas Djamaluddin dalam Dialog Obrolan Fakta Ilmiah Populer dalam Sains Antariksa, awal pekan ini.
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan, yang disebut antariksa yaitu ruang beserta isinya yang terdapat di luar ruang udara yang mengelilingi dan melingkupi ruang udara.
BACA JUGA:
- Sampah Antariksa Tiongkok Jatuh di Sanggau, Peneliti BRIN: Tidak Beracun, Tidak Berbahaya
- Sampah Antariksa RRT Jatuh di Samudera Hindia, Begini Penjelasan BRIN
- Inilah Benda-benda Antariksa yang Berpotensi Jatuh ke Dalam Atmosfer Bumi
Thomas Djamaluddin menjelaskan, mulai ketinggian 110 kilometer atau ketinggian 120 kilometer merupakan batas kritis.
Benda jatuh antariksa ada 2 klasifikasi. Yang pertama benda jatuh antariksa buatan yaitu sampah antariksa. Yang kedua, benda jatuh antariksa alami yaitu meteoroid (bakal meteor), asteroid, dan pecahan komet.
“Sampah antariksa dipengaruhi gravitasi bumi. Ada juga sampah antariksa seperti bekas satelit komunikasi atau satelit meteorologi pada ketinggian 36.000 kilometer akan tetap berada di orbitnya. Tetapi yang orbit rendah dibawah 1000 kilometer akan mengalami efek pengeremen atmosfer sehingga makin lama makin turun ketinggiannya dan jatuh,” imbuh Thomas Djamaluddin.
Sebagai contoh, Satelit LAPAN-A1 pada ketinggian 630 kilometer, satelit LAPAN-A2 ketinggian 500 kilometer, satelit LAPAN-A3 pada ketinggian 650 kilometer umurnya bisa sekitar 50 tahun. Namun, di bawah 300 kilometer hanya beberapa tahun, dan jika lebih rendah bisa beberapa bulan, kemudian jika di bawah ketinggian 150 kilometer hanya bertahan beberapa hari.
“Ada dua bahaya sampah antariksa yaitu ketika di orbit dan ketika jatuh. Pada saat mengorbit, ada potensi sampah antariksa bertabrakan dengan satelit aktif. Ini akan menimbulkan masalah pada satelit aktif tersebut sehingga ada upaya untuk membatasi sampah antariksa,” papar Thomas Djamaluddin.
“Bahaya yang lainnya yaitu ketika jatuh di permukaan bumi, bisa dilihat dari segi ukuran bisa sampai berton-ton. Ini berpotensi membahayakan tetapi kejadiannya langka. Contoh di Madura dulu sampah antariksa milik Space-X Amerika jatuh tapi di kandang domba. Potensi bahaya bisa dilihat dari diameter objek dan potensinya kecil sekali,” tambah Thomas Djamaluddin.
Sementara, dari segi pemantauan sampah antariksa itu dilakukan oleh Pusat Riset Antariksa BRIN. Objek yang ketinggian mendekati 120 kilometer lebih intensif dipantau. Belum ada model di dunia ini yang bisa menentukan titik jatuh secara akurat.
Thomas Djamaluddin memberikan contoh kasus sampah antariksa yang jatuh di Sanggau, Kalimantan Barat akhir Juli 2022 lalu itu sekitar satu jam sebelumnya prakiraan re-entry di Samudera Hindia.
Untuk jatuhnya ke permukaan bumi melintas mulai dari Sumatera bagian selatan, Bangka Belitung, sampai Kalimantan Barat, bisa jadi pecahan 20 ton itu tersebar. Video yang di laporkan di Serawak hanya teramati saja begitu juga di Lampung. Ada kemunginan pecahan lainnya jatuh di hutan atau laut. Jika sampah antariksa itu tidak menggunakan bahan bakar nuklir maka tidak akan ada indikasi radiasi.
Beberapa sampah antariksa yang pernah jatuh di wilayah Indonesia diantaranya pada tahun 1981 di Gorontalo (milik Rusia), tahun 1988 di Lampung (milik Rusia), tahun 2004 di Bengkulu (RRT), tahun 2016 di Sumenep Madura (milik Amerika), tahun 2017 di Sumatera Barat (milik RRT), dan tahun 2022 di Kalimantan Barat (milik RRT).
Sampah antariksa yang jatuh itu merupakan tanggung jawab pemiliknya. Ketika sampah antariksa jatuh di negara lain, maka ini akan melibatkan dua negara.
Sebagai contoh kasus sampah antariksa yang jatuh di Kanada. Negara pemilik dapat dituntut oleh negara yang mengalami kerugian (menurut Hukum Internasional).
Thomas Djamaluddin berpesan bahwa perlu disadari teknologi antariksa pasti meninggalkan sampahnya di antariksa. Di forum PBB saat ini sedang dibahas upaya mengurangi sampah antariksa.
“Kemungkinan jatuhnya sampah antariksa di wilayah berpenghuni itu jarang sekali karena bumi sangat luas dan sebagian besar tidak berpenghuni, seperti lautan, hutan, dan gurun. Masyarakat tidak perlu khawatir kejatuhan sampah antariksa,” tutur Thomas Djamaluddin.
*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan share pada saudara, sahabat dan teman-temanmu!
Leave a Reply