SURABAYA, KalderaNews.com – Wacana terkait dibolehkannya melaksanakan kampanye oleh salah satu kontestan Pemilu di perguruan tinggi sebenarnya bukanlah hal baru.
Wacana tersebut menarik perhatian Samsul Arifin, dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya untuk memberikan tanggapan.
Menurut Samsul Arifin, jika sedikit melihat sejarah, sejatinya kampanye di kampus diperbolehkan, dengan alasan bahwa generasi muda memiliki tanggung jawab moral untuk mengetahui secara langsung calon pemimpinnya, di satu sisi mahasiswa dianggap kaum terdidik yang mampu memberikan sumbangsih pemikiran terhadap kemajuan bangsa.
BACA JUGA:
- 70 Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang Sudah Lulus Tanpa Skripsi, Kok Bisa Ya?
- Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Palangkaraya Gelar Rakernas, Sambut IKN Baru
- Wow, Mahasiswa Unsyiah Ini Wisuda Tanpa KKN dan Skripsi
“Akan tetapi hal tersebut berubah sejak dikeluarkannya kebijakan baru oleh Kementerian Pendidikan saat itu, kebijakan yang dimaksud ialah terkait dengan normalisasi kehidupan kampus dan badan koordinasi kemahasiswaan (NKK/BKK) yang mengkotakkan mahasiswa dalam perannya terhadap praktik politik praktis,” papar Samsul Arifin.
Menurut Samsul Arifin, secara normatif, sebagaimana disebutkan dalam pasal 280 ayat (1) huruf h, undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berbunyi, “pelaksana, peserta, dan tim kampanye Pemilu dilarang; menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”.
Sementara, penjelasan terhadap isi pasal tersebut memberikan penafsiran yang berbeda. Seorang kontestan Pemilu diperbolehkan untuk hadir ke kampus manakala memenuhi dua unsur penting.
Bahwa fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika pertama, orang tersebut hadir tanpa menggunakan atribut kampanye, dan kedua, harus berdasarkan undangan dari penanggung jawab tempat tersebut.
Menurut Samsul Arifin, tidak sedikit orang-orang yang akan mencalonkan diri sebagai peserta Pemilu memanfaatkan kondisi tersebut untuk menaikkan elektabilitasnya di dunia kampus.
“Kondisi seperti ini akan memiliki dampak besar terhadap dunia pendidikan yang selama ini dianggap sebagai tempat yang independen. Segala bentuk pemikiran di dalamnya dilindungi oleh undang-undang, karena hal tersebut menjadi semangat dari kebebasan akademik,” tegas Samsul Arifin.
Samsul Arifin berpesan, agar mahasiswa tidak boleh anti politik, dan para pemangku kebijakan juga tidak boleh memanfaatkan kondisi tersebut untuk melanggengkan posisi dan kekuasaannya di pemerintahan.
“Hal ini harus terus dilaksanakan sebagai semangat bersama untuk mewujudkan negara demokrasi yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme,” tegas Samsul Arifin.
*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan share pada saudara, sahabat dan teman-temanmu!
Leave a Reply