Korban Perundungan di Sekolah Kerap Berpura-pura Tegar

Muh Wildan Fatari
Muh Wildan Fatari dari SMAN 14 Gowa, Sulawesi Selatan (KalderaNews/Ist)
Sharing for Empowerment

GOWA, KalderaNews.com – Hasil riset Programme for International Students Assessment (PISA) pada tahun 2018 menemukan, sebanyak 41,1% pelajar di Indonesia pernah mengalami perundungan (bullying).

Riset PISA yang diinisiasi oleh Organisation of Economic Co-operation and Development (OECD) sendiri merupakan studi untuk mengevaluasi sistem pendidikan yang diikuti oleh lebih dari 70 negara di seluruh dunia. Indonesia telah berpartisipasi dalam studi PISA ini sejak tahun 2000.

Dalam riset itu juga, persentase angka perundungan siswa di Indonesia pun tercatat tertinggi kelima di dunia, di bawah Filipina, Brunei Darussalam, Republik Dominika, dan Maroko. Angka siswa korban perundungan ini jauh di atas rata-rata negara anggota OECD yang hanya sebesar 22,7%.

BACA JUGA:

Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, di sepanjang tahun 2021 saja, terjadi sebanyak 17 kasus kekerasan di dunia pendidikan yang melibatkan peserta didik dan tenaga pendidik. Kasus terbanyak adalah tawuran pelajar (10 kasus), disusul kasus perundungan (6 kasus), dan kekerasan berbasis SARA (1 kasus).

Dihadapkan pada persoalan semacam ini Konsorsium CREATE berkomitmen menyadarkan masyarakat tentang kesetaraan gender, keberagaman, dan toleransi

Konsorsium CREATE merupakan inisiasi Yayasan Hivos yang terinspirasi oleh nilai-nilai humanis bekerja sama dengan Rombak Media, Perkumpulan Pamflet Generasi, Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR), Youth Interfaith Forum on Sexuality (YIFOS), dan Center for Marginalized Communities Studies (CMARs), dengan dukungan dari The United States Agency for International Development.

Konsorsium CREATE bersama-sama membuat program yang bertujuan untuk meningkatkan keberagaman dan toleransi di kalangan siswa. CREATE mengadopsi pendekatan berbasis seni dan budaya yang inovatif sebagai titik masuk mempromosikan toleransi dan keberagaman di tingkat sekolah menengah.

Sekolah sebagai tempat proses belajar-mengajar, memiliki peranan penting dalam dunia pendidikan. Melalui hal ini pula, sekolah diharapkan bisa menjadi ruang aman untuk menciptakan kehidupan manusia yang lebih baik melalui proses pendidikan.

Program CREATE bekerja sama dengan pihak sekolah, bersama-sama membangun pemahaman kepada para siswa terkait isu toleransi, keberagaman, dan kesetaraan gender, melalui berbagai kegiatan seperti lokakarya hingga pameran seni dengan topik terkait.

Sebagai salah seorang peserta, Muh Wildan Fatari dari SMAN 14 Gowa, Sulawesi Selatan, yang sering dirundung oleh teman-teman sebayanya mengaku terbantu mengikuti kegiatan ini. Ia pun berkesempatan mengikuti program konsultasi gratis dengan psikolog, untuk mencari tahu lebih jauh gejala yang dialaminya.

Perundungan yang dialami Wildan bukan hanya melalui verbal, tak jarang ia juga mengalami kekerasan secara fisik.

Ia merasa hidup dalam lingkungan yang selalu berusaha menjatuhkannya. Di lain sisi, ia juga dituntut untuk selalu memiliki nilai yang baik pada setiap mata pelajaran di sekolah. Wildan merasa tidak menjadi dirinya sendiri.

Ia terpaksa harus berpura-pura tegar, sementara perasaan lemah dan rendah diri yang ia alami menginginkan semua perilaku perundungan itu bisa segera berakhir.

Wildan berharap diterima di lingkungannya dengan segala kekurangan yang ia miliki.

“Kekurangan ada karena kita adalah manusia yang saling membutuhkan satu sama lain.”

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*