Inilah Poin-Poin Penting Koreksi Romo Sigit Pranoto: Salah Kaprah Pemahaman Trinitas dalam Buku PPKN?

Romo Stephanus Sigit Pranoto SCJ dan buku ajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan SMP Kelas VII. (Kemendikbudristek dan @mogitscj)
Romo Stephanus Sigit Pranoto SCJ dan buku ajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan SMP Kelas VII. (Kemendikbudristek dan @mogitscj)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com – Romo Stephanus Sigit Pranoto SCJ melayangkan surat kepada Pusat Kurikulum dan Perbukuan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbudristek.

Surat tersebut dikirimkan melalui email. Isi surat tersebut terkait koreksi dan masukan terhadap buku ajar “Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan SMP Kelas VII”.

Romo Sigit Pranoto adalah seorang imam Gereja Katolik. Ia imam Kongregasi Hati Kudus Yesus (SCJ), yang pernah berkarya di Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Palembang.

BACA JUGA:

Melalui blog pribadinya, spranotoscj.wordpress.com, Romo Sigit Pranoto menuliskan poin-poin penting koreksinya.

Tulisan tersebut ia beri judul “Salah Kaprah Pemahaman Trinitas dalam Buku PPKN?”, yang diposting pada Selasa, 26 Juli 2022.

Romo Sigit Pranoto mengawali tulisannya dengan menulis, “Sepanjang hari ini viral postingan tentang koreksi dan kritik saya di Twitter atas salah satu bagian dari buku ajar “Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan” untuk SMP Kelas VII.”

Buku tersebut terbit pertama kali pada 2021, ditulis oleh Dr. Zaim Uchrowi, MDM dan Ruslinawati, serta ditelaah oleh Prof. Dr. Sapriya, M.Ed. dan Adi Darma Indra, M.Pd.

“Sebenarnya, secara umum isi dari buku tersebut sangat baik dalam memperkenalkan dan memberikan pengetahuan tentang Pancasila dan Kewarganegaraan sesuai dengan tahap perkembangan siswa/siswi. Isinya cukup komprehensif, karena memberikan pengetahuan dasar tentang sejarah negara, lahirnya Pancasila, semangat kebinekaan, dll,” tulis Romo Sigit Pranoto.

Tetapi, Romo Sigit Pranoto mendapati kekeliruan fatal pada buku tersebut, yang berpotensi melukai masyarakat, terutama umat Kristiani (Katolik dan Protestan) dan menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat luas.

Kekeliruan itu terdapat pada salah satu pembahasan Bab IV Kebinekaan Indonesia, halaman 79, baik versi cetak maupun Pdf.

Nah, berikut beberapa koreksi dan masukan dari Romo Sigit Pranoto terhadap buku “Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan SMP Kelas VII” itu:

Koreksi tentang istilah “Kristen Protestan” dan “Katolik”

Penyebutan untuk agama Katolik sebaiknya juga disebut secara lengkap dengan menggunakan “Kristen Katolik” sebagaimana penyebutan untuk “Kristen Protestan”.

Mengapa?

Agar hal ini tidak menimbulkan kesalahpahaman lebih lanjut bahwa agama Katolik itu bukanlah agama Kristen.

Baik “Katolik” maupun “Protestan” adalah agama Kristen. Maka secara konsisten semestinya di buku-buku ajar lainnya harus disebutkan secara lengkap.

Koreksi tentang pemahaman Trinitas

Keterangan pada poin “2. Kristen Protestan” dan “3. Katolik” kalimat ke-2 tertulis demikian:
“Tuhannya adalah Allah, Bunda Maria, dan Yesus Kristus sebagai tiga yang tunggal atau Trinitas” (Kristen Protestan).

“Tuhannya sama dengan Kristen Protestan, yakni Trinitas Allah, Bunda Maria, dan Yesus Kristus” (Katolik).

Ada dua hal yang perlu diluruskan dari kedua keterangan tersebut.

Pertama, rumusan tersebut sangatlah TIDAK BENAR. Iman Kristiani (baik Kristen Katolik maupun Kristen Protestan) tentang Trinitas bukanlah seperti yang tertulis, dan justru kesalahan pemahaman tentang Trinitas seperti tertulis pada teks ajar itulah yang menjadi salah satu penyebab renggangnya hubungan antara umat Kristiani dan umat Islam di Indonesia.

Doktrin Trinitas atau Allah Tritunggal Maha Kudus mengajarkan bahwa Tuhan adalah SATU, namun terdiri dari TIGA pribadi: 1) Allah Bapa (Pribadi pertama), 2) Allah Putera (Pribadi kedua), dan 3) Allah Roh Kudus (Pribadi ketiga).

Kedua, di dalam teks tersebut juga dituliskan bahwa Bunda Maria dipandang sebagai salah satu dari “Tuhan” umat Kristiani. Hal ini juga sangat TIDAK BENAR.

Dalam Gereja Katolik, khususnya, Bunda Maria memang mendapatkan tempat yang istimewa sebagai ibu Yesus Kristus. Tetapi bukan berarti bahwa umat Katolik menempatkan Bunda Maria sebagai “Tuhan”.

“Saya tidak akan menjelaskan lebih lanjut tentang doktrin ini beserta dasar-dasarnya, karena dalam hal ini saya hanya menyoroti bagian yang tertulis dalam teks,” tulis Romo Sigit Pranoto.

Koreksi tentang kewajiban beribadah

Dalam teks, keterangan pada poin “2. Kristen Protestan” dan “3. Katolik” kalimat terakhir tertulis demikian:

“Umat Kristen Protestan wajib beribadah setiap akhir pekan di gereja masing-masing“ (Kristen Protestan).

“Dengan peribadatan tersendiri berbeda dengan Protestan, umat Katolik wajib beribadah setiap akhir pekan di gereja Katolik” (Kristen Katolik).

Berkaitan dengan hal ini, ada dua catatan yang perlu diperhatikan dan dikoreksi.

Pertama, pemahaman tentang ibadah. Kata “wajib beribadah” ini tampaknya merujuk pada kebiasaan umat Kristiani untuk pergi ke gereja dan merayakan Ekaristi (Katolik). Memang pada umumnya umat Kristiani pergi ke gereja pada hari Minggu. Tetapi bukan berarti hanya pada hari itu sajalah umat Kristiani beribadah.

Secara khusus, umat Kristen Katolik mempunyai kewajiban untuk menghadiri Misa Kudus (Ekaristi) pada hari-hari tertentu. Misalnya, dalam perintah ke-2 dari Lima Perintah Gereja disebutkan bahwa umat Katolik harus mengikuti perayaan Ekaristi/Misa pada hari Minggu dan pada hari raya yang diwajibkan.

Berkaitan dengan perintah merayakan Ekaristi pada hari Minggu, Katekismus Gereja Katolik no 2180 menyebutkan demikian:

“Salah satu perintah Gereja menjabarkan dengan lebih rinci hukum Tuhan; “Pada hari Minggu dan pada hari-hari pesta wajib lainnya orang beriman berkewajiban untuk ambil bagian dalam misa” (CIC, can. 1247). “Perintah untuk ambil bagian dalam misa dilunasi oleh orang menghadiri misa di mana pun misa itu dirayakan menurut ritus Katolik, entah pada hari pesta sendiri atau pada sore hari sebelumnya” (CIC, can. 1248 §1).”

Artinya, umat Katolik tidak hanya beribadah pada hari Minggu, tetapi juga pada hari-hari lainnya, baik secara pribadi maupun bersama.

Kedua, pemakaian frasa “akhir pekan”. Secara sekilas, menurut saya, pemakaian frasa “akhir pekan” ini memberi kesan bahwa para penulis sangat membatasi diri (kalau tidak mau disebut ‘anti’) untuk menyebut “hari Minggu.” Mengapa tidak secara tegas ditulis “hari Minggu”?

Selain ketiga hal tersebut, rupanya para netizen lain juga menyoroti tentang penyebutan Kitab Suci agama Kristen Protestan dan Katolik yang adalah Injil. Menurut para netizen, Kitab Suci agama Kristen Protestan dan Katolik yang lebih tepat adalah Al-Kitab, sementara itu Injil adalah bagian dari Al-Kitab.

Terhadap beberapa kekeliruan tersebut, saya menyampaikan usulan berikut:

Pertama, saya sangat berharap supaya buku tersebut segera ditarik dan direvisi agar tidak menimbulkan kesalahpahaman yang lebih luas di masyarakat. Adapun hal-hal yang perlu direvisi mengacu pada beberapa poin di atas.

Kedua, berkaitan dengan penyediaan buku-buku ajar di seputar Pancasila, Kewarganegaraan, ataupun buku ajar agama, pemerintah perlu menyediakan tim penulis maupun penelaah yang imbang sesuai kompetensinya. Terutama ketika berkaitan dengan soal-soal doktrin agama, setiap naskah yang akan diterbitkan semestinya dikonsultasikan kepada mereka yang berkompeten pada bidangnya.

“Bersyukur bahwa Kemendikbudristek segera menanggapi kritik dan koreksi tersebut dengan berjanji akan segera menarik dan mengoreksi buku yang beredar. Mari kita kawal niat baik Kemendikbudristek ini demi kebaikan bersama, sembari tetap mengkritisi setiap naskah buku lainnya,” tulis Romo Sigit Pranoto.

*Jika artikel ini bermanfaat,silakan dishare kepada saudara, sahabat dan teman-temanmu.




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*