SURABAYA, KalderaNews.com – Radius Setiyawan, dosen pengampu mata kuliah Cross Culture Understanding (CCU) di Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), menanggapi akan sebuah fenomena bahwa kebanyakan perilaku rasis di ranah publik akhir-akhir ini.
Dosen UM Surabaya yang juga alumnus Kajian Budaya dan Media UGM merespon atas isu rasis yang tengah merebak di media sosial yang terkait dengan labeling dan streotype.
Dimana dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, sikap rasisme terhadap yang berbeda mengemuka ke publik dan memicu kontroversial, misalnya ungkapan menteri memindah pegawai bermasalah ke Papua, tulisan di sosial media seorang guru besar sekaligus rektor yang menyebut manusia gurun dan yang terbaru dilakukan oleh seorang politisi senior lewat unggahannya yang bernada rasis terhadap identitas Papua.
BACA JUGA:
“Perilaku atau ucapan rasis yang sebenarnya sudah sangat jelas ada kecenderungan dibantah dengan dalih beragam. Orang bersikap begitu bisa jadi karena rasa emosi kepada orang lain sehingga mengeluarkan makian rasis, bisa jadi keseleo lidah atau berbagai motif lain,”ungkap Radius dalam keterangan tertulisnya pada Sabtu, 14 Mei 2022.
Radius menegaskan bahwa berbagai motif di atas tentunya tidak selayaknya kita anggap sesuatu hal yang wajar atau kita maklumi, justru kondisi tersebut memprihatinkan.
Sikap rasis bisa jadi sudah mendarah daging dan berada di alam bawah sadar kita, misalnya ungkapan ketidaksukaan terhadap yang berbeda atau dianggap melanggar dengan mudah diekpresikan dengan melabeli orang tersebut dengan identitas suku atau ras tertentu yang dianggap rendah.
“Ada kecenderungan membantah karena seringkali orang mengungkapkan sikap rasis dalam kondisi emosional atau di luar kontrol. Kalau level rasis sudah berada di level tersebut, tentunya itu alarm berbahaya bagi keberagaman kita,”ujar Radius
Radius juga menjelaskan bahwa pembentukan informasi dalam diri manusia yang penuh dengan labeling atau stereotype tentunya sesuatu hal yang bermasalah.
Dalam konteks Indonesia, hal tersebut terbentuk tentunya terkait dengan berbagai faktor. Dari persoalan sejarah politik, relasi masa lalu yang tidak setara hingga jejak-jejak kolonialisme.
“Stereotype atas Papua menjadi contoh bagaimana sikap rasis seringkali mengemuka di ruang publik kita. Stereotype tersebut sudah terbentuk lama sehingga cenderung membuat seseorang tidak melakukan proses berpikir panjang, hati-hati, atau sistematis ketika mengeluarkan perilaku rasis,”ungkap Radius yang juga mahasiswa Doktoral Ilmu Sosial Universitas Airlangga konsentrasi komunikasi.
Radius juga menambahkan bahwa bekal pengetahuan atau wawasan yang diperoleh sedari kecil menjadi jalan pintas individu dalam memberikan label atau stereotype pada orang yang berbeda. Dalam sejarah Indonesia sikap rasis terhadap Papua tentunya mempunyai akar sejarah.
*Jika artikel ini bermanfaat, silakan dishare kepada saudara, sahabat dan teman-temanmu.
Leave a Reply