Biografi Lengkap Kartini, Perempuan Milenial Harus Tahu

Biografi Kartini juga dapat disimak di Museum Kartini. (KalderaNews/Ist)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com – Tanggal 21 April setiap tahun selalu diperingati sebagai Hari Kartini oleh kaum perempuan Indonesia. Tanggal tersebut menjadi sebuah pengingat bahwa perempuan Indonesia bisa mendapatkan kesempatan yang sama dengan kaum Adam salah satunya karena jasa pahlawan dari Jepara yang meninggal muda itu.

Namun, sebagai perempuan milenial Indonesia, tahukah kamu tentang kehidupan Kartini pada masa penjajahan Belanda kala itu? Yuk, simak kisah biografi lengkapnya berikut.

BACA JUGA:

Kelahiran dan masa kanak-kanak Kartini

Kartini lahi pada 21 April 1978 di Jepara, Jawa Tengah. Mendapatkan gelar kebangsawanan dari bapaknya, Raden Adipati Ario Sosroningrat, putra Pangeran Ario Tjondro IV. Ibu Kartini, M.A. Ngasirah, sebenarnya adalah adalah istri pertama Raden Adipati Ario Sosroningrat, tetapi karena bukan dari kalangan bangsawan, hal ini tidak dapat menjadikannya sebagai istri utama. Aturan dari Belanda adalah bila ingin menjadi bupati, harus menikah dengan kalangan bangsawan juga.

Agar Ario Sosroningrat tetap bisa menjadi bupati, maka ia menikahi raden Adjeng Woerjan yang memiliki darah biru dari kerajaan Madura. Tanpa harus melepas istri pertamanya.  Tidak lama dari penikahan keduanya ini, Ario Sosroningrat diangkat menjadi Bupati Jepara bersamaan dengan kelahiran putrinya, Kartini.

Masa remaja

Kartini beruntung menjadi cucu dari Pangeran Ario Tjondro IV, bupati pertama Jepara, yang terbiasa memberikan pendidikan barat pada anak-anaknya, sehingga ia mengajar anak-anaknya dengan cara yang tidak konservatif.

Kartini yang merupakan  anak ke-5 dari 11 bersaudara (total saudara kandung dan saudara tiri), tetapi Kartini merupakan anak perempuan tertua dari semua saudara kandungnya. Karena pemikiran kakeknya yang moderat, Kartini memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan di ELS (Europese Lagere School) saat usianya 12 tahun.

Dengan bersekolah ini, Kartini menjadi bisa berbahasa Belanda. Kecerdasan Kartini makin terasah di sekolah, tetapi sayangnya sekolah tersebut tidak bisa berlangsung lama. Saat usianya 15 tahun, Kartini berhenti sekolah karena dipingit seperti perempuan lain pada masa itu.

Selama dipingit, Kartini terus bertukar pikiran dengan Rosa Abendanon melalui surat menyurat. Kartini yang fasih berbahasa Belanda, juga mempelajari pola pikir wanita Eropa melalui beragam artikel, surat kabar, dan buku-buku.

Dari bacaannya itu, Kartini mengetahui bahwa kehidupan wanita Eropa dan wanita Indonesia sangat jauh berbeda kala itu. Di Indonesia, wanita memiliki status yang rendah, tidak pernah mendapatkan persamaan, kebebasan dan otonomi serta kesetaraan hukum.

Kondisi ini membuat hati kartini miris. Keinginannya memajukan nasib perempuan akhirnya tumbuh di hatinya. Kartini merasa tergugah dan bertekad untuk mengubah nasib kaumnya.  

Masa Dewasa

Setelah dipingit pada usia 15 tahun, R.A Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903 saat berusia 24 tahun dengan K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang menjabat sebagai Bupati Rembang sebagai istri keempat. Pernikahan Kartini ini menjumpai polemik yang sama seperti yang dihadapi oleh R.A. Soelastri  yang dinikahi sebelum Kartini, juga bukan sebagai istri pertama.

Sayangnya, perjuangan Kartini harus terhenti dan tidak dapat berjuang lebih lama dalam mengangkat harkat derajat wanita karena Kartini wafat di usia 25 tahun. Kartini meninggal dunia setelah empat hari melahirkan putra tunggalnya, R.M. Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada 13 September 1904.

Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Rembang bersama bongkahan cita-citanya bagi pendidikan perempuan Indonesia yang belum sempat diwujudkan.

Surat-surat tulisan Kartini

Surat-surat yang ditulis Kartini untuk para sahabatnya di Belanda berhasil dikumpulkan oleh Jacques Henrij (J.H.) Abendanon. J.H. Abendanon merupakan suami salah satu sahabat pena Kartini, Rosa Abendanon. Mereka biasa saling berkirim surat.

Melalui surat-suratnya itu, Kartini mengabarkan banyaknya ketimpangan dan ketidaksetaraan serta kondisi pendidikan perempuan di Indonesia.

115 surat yang terkumpul dan terindentifikasi dikirimkan Kartini pada:

  • Estelle H. Zeehandelaar atau Stella sebanyak 14 surat.
  • Ny. Ovink-Soer sebanyak 8 surat.
  • Prof. dr. G.K Anton di Jena dan istrinya sebanyak 3 surat.
  • Dr. N. Andriani sebanyak 4 surat.
  • Ny. HG de Booy-Boissevain sebanyak 5 surat.
  • Ir. HH van Kol sebanyak 3 surat.
  • Ny. N van Kol sebanyak 3 surat.
  • Ny. RM. Abendanon- Mandri sebanyak 49 surat
  • Mr. JH Abendanon sebanyak 5 surat
  • EC Abendanon sebanyak 6 surat
  • Suami istri Abendanon berupa gabungan surat
  • Dan sat surat yang belum bisa disimpulkan penerimanya.

Delapan tahun dari meninggalnya Kartini, pada tahun 1912, Sekolah Kartini dibanun oleh Yayasan Kartini di Semarang yang digagas oleh keluarga Van Deventer, tokoh politik Etis. Pembangunan sekolah tersbeut juga merambat ke Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan kota-kota lain.

Kontroversi Kartini

Surat Kartini memang paling banyak dikirimkan pada sahabatnya, Nyonya Rose Abendanon Mandri, istri dari J.H. Abendanon, yang menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Belanda.

Kartini berusia 23 tahun saat rajin berkirim surat saat itu da membahas banyak hal termasuk membahas soal keintiman dengan ras Tiongkok. Orang Tiongkok saat itu hanya dijadikan tameng oleh Belanda menghadapi amarah pribumi dan sebagai kambing hitam atas birokrasi yang kacau. Bagian yang dianggap membahayakan ini disensor oleh Abendanon.

Kartini juga membahas kebijakan pemerintahan Belanda dalam menguasai perdagangan candu di Jawa. Kartini mengeluarkan kritikan yang pedas atas kepindahan seorang residen dari Jepara. Bagian ini juga disensor oleh Abendanon karena dianggap tidak layak dibuka untuk publik.

Buku Kartini yang dicetak pada masa polikti etis, dan Abendanon yang dikenal sebagai pendukung politik Etis banyak yang menduga adanya rekayasa Abendanon dalam menyortir surat-surat Kartini.

Saat surat lengkap Kartini diterbitkan oleh Koninklijk Instituut voor Taal- Land o en Volkenkunde (KITLV) yang berjudul “Kartini: Brieven aan Mevrouw R.M. Abendanon-Mandri en Harr Echtgenoot’ ternyata total ada sekitar 150 korespondensi. Beberapa surat ada yang sengaja disoberk pada bagian tertenru khususnya surat yang dianggapnya terllau pedas atau menyudutkan pemerintahan Belanda. 

Kontroversi yang lain adalah bahwa Kartini tidak pernah berperang dengan mengangat senjata seperti Cut Nyak Dien atau Christina Martha Tiahahu yang ikut turun ke medan perang. Sikap Kartini yang juga pro poligami dianggap bertentangan dengan pemikirannya sebagai penggitan emansipasi wanita.

Itulah sekelumit biografi Kartini yang masih selalu mengundang rasa penasaran. Tugas kita saat ini adalah terus menjaga semangat Kartini dalam menempuh pendidikan setinggi mungkin. Selamat hari Kartini, Perempuan Milenial Indonesia!

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat, dan teman-temanmu!




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*