Dosen Psikologi UM Surabaya Ungkap Cara Menghadapi Fenomena Flexing di Media Sosial

Fenomena flexing. (Ist.)
Fenomena flexing. (Ist.)
Sharing for Empowerment

SURABAYA, KalderaNews.com – Belakangan ini banyak fenomena seseorang memamerkan harta di media sosial baik dalam bentuk fisik, barang-barang, atau hal lain yang dianggap lebih unggul dari orang lain.

Hal tersebut menarik perhatian Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Surabaya, Dewi Ilma Antawati.

Dewi Ilma menjelaskan, perilaku flexing merupakan perilaku instingtif dalam menjalin relasi. Ia memberikan perumpamaan seekor merak akan memamerkan ekor indahnya untuk menarik perhatian lawan jenisnya.

BACA JUGA:

“Ilmu psikologi sosial menyebutkan bahwa memamerkan sesuatu yang dimiliki dilakukan untuk menunjukkan status sosial seseorang, dengan harapan lebih menarik di mata orang lain sehingga dapat memperluas pergaulan,” ujar Dewi Ilma.

Sementara, dalam psikologi klinis, perilaku flexing dikaitkan dengan rasa tidak aman (insecurity) yang dimiliki seseorang, sehingga ada dorongan untuk memamerkan apa yang menurutnya unggul pada orang lain.

“Itulah sebabnya ada orang yang merasa tidak percaya diri datang ke pesta atau acara-acara tertentu jika tidak mengenakan barang yang bermerek, dan lebih nyaman jika datang mengenakan barang bermerek, karena adanya kekhawatiran tidak diterima atau dianggap rendah oleh orang lain,” kata Dewi Ilma.

Dewi Ilma mengatakan, perilaku flexing dapat berdampak pada relasi dengan orang lain, khususnya ketika berada di lingkungan baru. Penelitan menunjukkan bahwa ketika seseorang memamerkan apa yang dimilikinya justru membuatnya menjadi sulit bergaul atau diterima oleh orang lain.

Dalam hasil penelitian banyaknya komentar negatif pada konten media sosial yang berisikan perilaku flexing secara finansial juga berdampak meningkatkan konsumerisme karena perilaku belanja dilakukan untuk meningkatkan status sosial, bukan murni karena kebutuhan.

Lalu bagaimana menyikapi flexing?

“Kita tidak perlu berlebihan terhadap orang yang melakukan flexing. Kita cukup memahami mengapa seseorang melakukan hal tersebut. Untuk mencegah agar kita tidak menjadi pelaku, maka kita perlu mengenal kekuatan dan kelemahan diri, menerima kekuatan dan memaafkan kelemahan yang dimiliki, berusaha terus melakukan pengembangan diri, serta meningkatkan empati dengan cara memperbanyak kegiatan sosial dan berbagi dengan orang lain,” ujar Dewi Ilma.

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu.




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*