YOGYAKARTA, KalderaNews.com – Konflik yang saat ini terjadi di Eropa Timur antara Ukraina dan Rusia bukan merupakan konflik baru dan menjadi bagian dari sisa Perang Dingin yang masih bertahan hingga saat ini meskipun beberapa pihak menyatakan Perang Dingin sudah lama selesai sejak runtuhnya tembok Berlin dan bubarnya Uni Soviet.
Demikian dismapaikan Dosen Studi Keamanan Internasional Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Irawan Jati, S.IP., M.Hum., MSS., Ph.D (Cand.) dalam International Relations In Conversation dengan tema “Russia-Ukraine Updates: What Happens Next”.
BACA JUGA:
- Mau Kuliah di Rusia? Inilah 3 Kampus yang Dapat Kamu Pilih, Bisa Pakai Beasiswa LPDP Lho!
- Dapat Beasiswa ke Rusia itu Gampang, Lulusnya yang Sulit
- 14 Mahasiswa Asal Papua Raih Beasiswa dari Pemerintah Rusia
Irawan Jati mengatakan bahwa yang saat ini dilakukan Rusia bukan merupakan hal yang baru, sebab pernah terjadi di 2014 saat Rusia mencoba menganeksasi kembali dan mengklaim Ukraina sebagai bagian sah dari Rusia.
Sementara, Mohamad Rezky Utama, S.IP., M.Si., Dosen Studi Kawasan Eropa Program Studi HI UII menyampaikan bahwa situasi yang saat ini terjadi di Ukraina tidak terlepas dari ekspansi NATO yang mulai melebarkan pengaruh di Eropa Timur.
Rezky Utama menambahkan, ekspansi NATO ke Eropa Timur membahayakan Rusia karena hal ini berpotensi memindahkan rudal balistik yang awalnya ditempatkan di Rumania ke Ukraina dan berpotensi menjadi ancaman terbuka bagi Rusia.
Sebelum 2014, lanjut Rezky Utama, Ukraina sangat dekat dengan Rusia dan menjadi buffer zone antara Rusia dan Eropa. Namun setelah revolusi 2014, pemerintah Ukraina berpindah haluan, dari sebelumnya dekat dengan Rusia beralih mendekati NATO. Hal inilah yang menyebabkan Belarusia menjadi satu-satunya buffer zone antara Rusia dan negara-negara Eropa.
Maka, invasi yang dilakukan Presiden Putin menjadi salah satu cara untuk mengembalikan Ukraina sebagai salah satu sekutu Rusia dengan mengganti rezim pemerintah Ukraina melalui dukungan kelompok separatis di Donetsk, Luhan, dan Krimea.
Irawan Jati mengatakan, dukungan yang diberikan Rusia kepada kelompok separatis Ukraina tidak terlepas dari konsep the enemy of my enemy is my friend yang diadopsi Rusia.
Rezky Utama menambahkan bahwa hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Rusia dengan mendukung kelompok separatis Georgia setelah negara tersebut mulai memihak kepada Amerika Serikat dan Eropa Barat.
Terkait indikasi konflik yang mengarah ke perang dunia ketiga, kedua narasumber sepakat bahwa hal ini masih terlalu jauh melihat kondisi yang saat ini terjadi. Salah satu indikatornya adalah bantuan militer yang diberikan oleh negara-negara anggota NATO, seperti Turki, Kanada dan Spanyol lebih bersifat bantuan individu alih-alih atas nama organisasi.
“Hal ini ditambah dengan pernyataan Joe Biden, Presiden Amerika Serikat yang tidak akan mengirimkan bantuan militer ke Ukraina,” ujar Irawan Jati.
Menurut Rezky Utama, faktor penghambat lainnya adalah Uni Eropa dan NATO yang cukup berhati-hati dalam mengambil langkah untuk menghindari perang dunia ketiga karena hal ini bisa menyebabkan Eropa menjadi teater perang dunia lagi.
“Ancaman sanksi ekonomi dan embargo untuk mendorong Rusia menghentikan perang tidak banyak berpengaruh, karena Rusia merupakan suatu wilayah yang cukup sustain sehingga mereka masih bisa survive menghadapi embargo tersebut,” kata Irawan Jati.
Irawan Jati menambahkan, kondisi yang terjadi di lapangan adalah Rusia yang menjadi pemasok utama gas untuk negara-negara di kawasan Eropa sehingga sanksi tersebut bisa berbalik merugikan negara-negara di kawasan Eropa.
Pendekatan diplomasi, kata Irawan Jati, dipandang menjadi salah satu solusi, meskipun cukup bertele-tele. Hal ini disebabkan legitimasi militer negara-negara di sekitar Rusia belum cukup kuat sehingga apabila memaksakan penyelesaian konflik lewat cara militer malah akan mengarah pada invasi yang lebih besar.
Sementara Rezky Utama menilai, penyelesaian konflik melalui PBB belum bisa dilakukan, karena Rusia masih memiliki hak veto di United Nations Security Council atau Dewan Keamanan PBB yang bisa menghambat langkah-langkah penyelesaian konflik.
*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu.
Leave a Reply