JAKARTA, KalderaNews.com – Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina menyelenggarakan Pidato Kebudayaan dalam rangkaian semarak Dies Natalis ke-24 Universitas Paramadina. Pidato Kebudayaan “Cak Nur: Setelah Islam Inklusif, Apa?” menghadirkan Dr. Budhy Munawar-Rachman pada Rabu, 26 Januari 2022.
Ia pun menjelaskan gagasan Islam inklusif Nurcholish Madjid. Islam inklusif adalah trade mark Cak Nur yang dikembangkan sejak tahun 1990-an.
“Gagasan ini muncul karena Cak Nur melihat adanya tantangan yang konkret dalam kehidupan umat beragama di Indonesia yang mempunyai kecenderungan konservatif-tradisional.”
BACA JUGA:
- Muhadjir Effendy, Sandiaga Uno dan Jusuf Kalla Hadiri Dies Natalis ke-24 Universitas Paramadina
- Universitas Paramadina Luncurkan Buku Biografi Gus Yahya Cholil Staquf, Tokoh NU Kok ke Israel
- Akademisi Paramadina Kompak Udar Kebobrokan Masalah Ekonomi Politik Saat Pandemi
Sementara itu di tengah berkembang fundamentalisme di tengah-tengah konservatisme beragama saat ini, gejala ini memicu timbulnya intoleransi dan benih- benih kekerasan dalam bergama.
“Dengan Islam inklusif Cak Nur berharap keberagamaan yang konservatif tersebut menjadi inklusif dan progresif,” tandasnya.
Ia menjelaskan Islam inklusif mengakui adanya kesetaraan iman dan merupakan titik temu bagi agama-agama. Selanjutnya disebutkan enam tema dalam Islam inklusif, yaitu (1) Keterbukaan, sikap saling menghargai, dan toleransi, (2) adanya paham keselamatan bagi semua agama apabila dijalankan secara otentik, (3) adanya konsep ahl al-kitab, (4) kebebasan beragama, (5) pengakuan atas Hak Asasi Manusia, dan (6) perdamaian.
Namun demikian ia juga mengkritisi ruang kosong dalam pemikiran Cak Nur. Yang pertama, pandangan Islam inklusif Cak Nur hanya menyentuh tataran normatif saja, dan sebaliknya, tidak cukup menggambarkan kegagalan umat Islam dalam memenuhi panggilan Islam inklusif secara historis. Seharusnya umat Islam mampu melihat sejarah kegagalan inklusifisme dalam kehidupan beragama.
Kedua, Cak Nur tidak menggali sisi-sisi titik temu agama-agama dari sudut pandang agama lain. “Sebab Cak Nur terlalu berorientasi pada Islam. Kurang adanya dialog antar agama yang dilakukan melalui studi agama-agama”.
Ketiga, Cak Nur tidak pernah menggali secara lebih mendalam mengenai pluralisme kewargaan (civic pluralism). Padahal dengan adanya gagasan mengenai pluralisme teologi akan berimplikasi pada lahirnya pluralisme sosial.
Menurut Budhy, tantangan selanjutnya yang perlu dikembangkan setelah gagasan Islam inklusif Nurcholish Madjid adalah menciptakan dialog pemikiran antar agama yang dapat mengembangkan sikap terbuka dalam menerima gagasan dari teologi atau agama.
“Inklusifisme-pluralisme Cak Nur perlu dikembangkan menjadi paham yang menciptakan integritas terbuka,” kata Budhy.
“Dan yang terakhir perlu ada praksis yang nyata atas inklusi-pluralisme teologi sehingga mendorong adanya inklusi-pluralisme kewargaan (civic pluralism). Hal tersebut sangat penting dalam mengembangkan keislaman yang kompatibel dengan keindonesiaan,” pungkasnya.
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu!
Leave a Reply