JAKARTA, KalderaNews.com – Direktorat Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Al-Azhar Indonesia bersama Pusat Kajian Penerapan Etika dan Nilai-nilai Keislaman (PKPENK-UAI) mengkritisi Permendikbudristek No.30 Tahun 2021 melalui Focus Group Discussion (FGD) pada Sabtu, 22 Januari 2022 lalu.
Direktur Pusat Studi Linguistik UIN Jakarta, Dr. Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum menyoroti Permendikbudristek ini secara bahasa yang tidak mengantisipasi ketika adanya pelanggaran tindak pelecehan seksual ataupun kekerasan seksual yang terjadi saat kegiatan akademis di luar kampus, seperti magang dan lain sebagainya.
Untuk itu, Syarif menyarankan adanya aturan/kode etik di tiap-tiap kampus yang mengatur kegiatan akademis di luar kampus, apalagi seiring digulirkannya program MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka).
BACA JUGA:
- Mendikbudristek Tegaskan Segera Bentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus
- Menag Yaqut: Tiga Langkah untuk Tangani dan Cegah Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Keagamaan
- Korban Kekerasan Seksual di Kampus Tidak Berani Lapor, Begini Support System yang Dibutuhkan
Syarif juga menyoroti kata-kata dari beberapa pasal yang menyebutkan “tanpa persetujuan korban” juga dianggap rancu dan dapat menimbulkan multitafsir sehingga bisa saja ketika adanya indikasi terjadi pelanggaran kekerasan seksual dalam pasal-pasal yang menyebutkan kata-kata tersebut justru akan mengkaburkan fakta yang terjadi.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum MUI Pusat, Buya Dr. H. Anwar Abbas, M.M., M.Ag juga menyoroti Permendikbudristek ini semestinya salah satu rujukannya kepada Tujuan Pendidikan Nasional yang ada pada Undang-undang Sisdiknas.
Dalam Undang-undang Sisdiknas tertuang tujuan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sehingga menurut Buya, permendikbudristek ini tidak bisa lepas dari norma-norma dan aturan agama yang wajib ditaati oleh para pemeluknya.
Selanjutnya akademisi dari Universitas Al-Azhar Indonesia sekaligus Penasehat PKPENK UAI, Prof. Nurhayati Djamas berpendapat bahwa jika dilihat dari perspektif pendidikan karakter bangsa, permen tersebut pada Pasal 5 ayat (2), huruf (b, f, g, h, j, l, m), yang memuat frasa “tanpa persetujuan korban” mengandung pengertian bahwa tindakan yang disebutkan pada ayat (2) huruf-huruf tersebut tidak merupakan kekerasan seksual dan/atau pelanggaran bila dilakukan atas dasar persetujuan “suka sama suka”.
Frasa “tanpa persetujuan korban” inilah yang merupakan point krusial dari Permendikbudristek Nomor 30, karena frasa tersebut mengandung pengertian bahwa tindakan seksual yang dilakukan atas dasar persetujuan suka sama suka dipandang tidak merupakan kekerasan seksual dan/atau pelanggaran, sementara tindakan seksual di luar nikah yang dilakukan atas dasar persetujuan suka sama suka sekalipun dipandang sebagai pelanggaran atau penyimpangan dari kaidah ajaran agama, dan bertentangan dengan kaidah moral dan norma budaya Pancasila dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pakar Hukum Pidana sekaligus Ketua Senat Akademik Universitas Al-Azhar Indonesia, Dr. Suparji, SH., MH juga mengkritisi permen ini dalam perspektif hukum. Suparji mengatakan bahwa kekerasan seksual itu seperti fenomena gunung es, artinya begitu banyak tetapi tidak terungkap.
Dalam konteks hukum internasional kekerasan seksual dikualifikasi sebagai kejahatan sangat serius karena keji dan kejam kemudian mengguncangkan hati nurani, kemanusiaan dan berakibat sangat serius. Penyebabnya juga karena faktor relasi kuasa yang menyebabkan ketergantungan, semua itu harus diakui sebagai suatu fakta.
Untuk itu menurut Suparji, filosofi dari terbentuknya permen ini dalam rangka menciptakan suatu perlindungan, mencegah dari segala bentuk kekerasan. Kemudian landasan sosiologisnya adalah karena meningkatnya kejadian kekerasan seksual serta landasan yuridisnya adalah beberapa regulasi, sehingga secara substansi permen ini meskipun tidak menyatakan kata-kata agama namun secara komprehensif telah memenuhi pendekatan agama, moral dan etika, dan juga bertujuan melindungi korban.
Adapun ketika ada pasal-pasal yang belum mengakomodir norma-norma agama dan etika dapat secara terpisah, ketika ada pelanggaran dijerat dengan peraturan dan atau undang-undang yang lebih khusus, misal UU Pornografi, UU ITE dan sejenisnya.
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply