BANDUNG, KalderaNews.com – Dibalik pro kontra Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi (PT) membawa sinyal positif sekaligus memandatkan upaya keadilan dan pemulihan korban.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pengayoman Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Fakultas Hukum Unpar, dan HopeHelps Unpar berkolaborasi memaparkan hal itu demi pemahaman yang utuh atas Permen yang terdiri atas 58 Pasal itu dan diteken pada 31 Agustus 2021.
Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Siti Aminah Tardi mengungkapkan, situasi kekerasan seksual di kampus tak bisa dilepaskan dari data kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
BACA JUGA:
- Universitas Parahyangan Tidak Steril atau Imun dari Kekerasan Seksual
- Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual, Inilah Salinan Resmi Permendikbudristeknya
- Mendikbudristek Janji Fokus Atasi Dosa Kekerasan Seksual
Berdasarkan data tahun 2020 terdapat 299.913 kasus, sementara untuk kasus kekerasan seksual di tahun yang sama mencapai 2.945 kasus. Selama 9 tahun (2012-2020), Catatan Tahunan Komnas Perempuan mencatat terlaporkan 45.069 kasus kekerasan seksual.
“Kami ingin menyampaikan bahwa data kekerasan seksual itu tidak pernah hoaks. Ini adalah data yang muncul ke permukaan, masih banyak korban yang tidak masuk ke angka itu. Sehingga ketika kita bicara data, korban tidak boleh hanya dilihat sekadar angka. Satu angka pun sudah termasuk pelanggaran terbesar untuk harkat dan martabat perempuan,” ujar Siti Aminah dalam diskusi yang berlangsung daring.
Berdasarkan penelitian Kemendikbudristek pada 2020 lalu, ditemukan 77 persen dosen yang menjadi responden mengakui ada kasus kekerasan seksual di kampus mereka. Ironisnya, 63 persen di antaranya tidak dilaporkan.
Komnas Perempuan pun mencatat, berdasarkan Laporan Langsung Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan, di tahun 2020 pihaknya menerima 10 laporan. Sementara kekerasan seksual dan diskriminatif pada ranah pendidikan paling tinggi terdapat pada tingkat universitas dengan jumlah 14 kasus teridentifikasi. Kasus yang diadukan tentunya merupakan “puncak gunung es”, karena umumnya kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi tidak diadukan/dilaporkan.
Angka tersebut menunjukkan bahwa sistem penyelenggaraan pendidikan nasional harus serius mencegah dan menangani kekerasan seksual sebagai bagian dari penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
Menurut Siti Aminah, untuk kekerasan seksual di universitas, kasus yang diadukan umumnya menyangkut relasi kuasa dosen sebagai pembimbing skripsi dan pembimbing penelitian dengan modus mengajak korban ke luar kota, melakukan pelecehan seksual fisik dan nonfisik di tengah bimbingan skripsi yang terjadi baik di dalam atau di luar kampus.
Komnas Perempuan pun mengidentifikasi sejumlah hambatan yang kerap kali menyebabkan sejumlah kasus tak terselesaikan dan merugikan korban. Mulai dari adanya impunitas pelaku kekerasan, penundaan berlarut penanganan kasus, lembaga pendidikan belum memiliki SOP (Standard Operating Procedure) pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban. Serta adanya sikap victim blaming terhadap korban, yang akhirnya membuat korban enggan melapor dan dalam hal ini korban acap dinilai mencemarkan nama baik kampus.
“Justru yang dibutuhkan oleh korban adalah kampus yang mendukung upaya-upaya keadilan dan pemulihan korban,” tutur Siti Aminah.
Permen PPKS, lanjut Siti Aminah, menjadi pedoman bagi perguruan tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan PPKS yang terkait dengan pelaksanaan Tri Dharma di dalam atau luar kampus. Serta untuk menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di antara mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus.
Sementara, Rektor Unpar Mangadar Situmorang mengungkapkan bahwa Permen PPKS sejalan dengan spiritualitas dan nilai-nilai dasar Unpar yang telah tertanam dalam setiap pribadi komunitas akademik Unpar. Dengan tetap memegang teguh nilai dasar utama yaitu humanum; caritas in veritate; dan kebhinekaan.
“Posisi Unpar pada dasarnya mendukung Permen tersebut dan mematuhi peraturan pemerintah secara kritis. Ketika Unpar melihat peraturan-peraturan yang ada bisa sejalan dengan prinsip dasar Unpar dan tujuan pendidikan Unpar,” ucap Mangadar.
*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu!
Leave a Reply