YOGYAKARTA, KalderaNews.com – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) kembali memasang 17 seismograf di berbagai wilayah di Indonesia. Pembangunan shelter dan jaringan seismograf ini diperlukan untuk merapatkan jaringan guna meningkatkan performa kecepatan dan keakuratan informasi dan peringatan dini tsunami di BMKG.
Dengan pemasangan baru ini maka saat ini telah terpasang sebanyak 428 sensor. Data seismograf terbaru dengan kode stasiun SYJI pun telah masuk dengan baik dalam sistem Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS)
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menegaskan sebelumnya telah terpasang sebanyak 411 sensor dalam Jaringan Sistem Monitoring Gempabumi.
BACA JUGA:
- Gempa Magnitudo 7,4 Guncang NTT, BMKG: Inilah Daerah-daerah Berstatus Waspada Tsunami
- Rentetan Gempa Mentawai dan Zona Megathrust, Inilah Penjelasannya
- Inilah Jenis Gempa yang Sering Terjadi di Indonesia
Adapun penentuan jumlah dan lokasi penempatan sensor berdasarkan historis sumber-sumber gempabumi yang telah terjadi yaitu pertemuan antar lempeng tektonik seperti Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik dan Lempeng filipina, serta sesar/patahan aktif yang telah teridentifikasi.
Hal tersebut telah dievaluasi dan diperhitungkan oleh BMKG bersama Tim Ahli dari Insititut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) di bawah koordinasi Prof Nanang Puspito.
“Dengan adanya penambahan seismograf ini, kami ingin maksimalkan dalam memberikan layanan informasi cuaca, iklim, gempa bumi serta tsunami secara cepat, tepat, dan akurat,” tambah dia.
Dwikorita menyebut, sejak tahun 2016, BMKG semakin menyadari bahwa Indonesia adalah wilayah yang sangat rawan bencana namun tidak dibekali dengan persenjataan teknologi yang canggih. Atas dasar itulah, BMKG terus melakukan penambahan dan pembaharuan alat dan teknologi guna menjaga keselamatan masyarakat terhadap bencana.
Termasuk, kata dia, pemasangan sensor gempa di Kawasan Candi Abang, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, ini dilakukan untuk meningkatkan kecepatan dan akurasi informasi peringatan dini gempa besar dan tsunami kepada masyarakat. Mengingat wilayah Yogyakarta sendiri memiliki potensi kegempaan yang bersumber dari sesar-sesar aktif seperti sesar naik Opak dan zona subduksi (lempeng indo-Australia dan lempeng Eurasia) di selatan Jawa.
Dwikorita menegaskan, meskipun fenomena gempabumi dan tsunami tidak dapat diprediksi, namun dampaknya dapat diminimalisir melalui kecepatan analisa gempabumi dengan jaringan seismograf yang rapat, pemodelan tsunami yang presisi, penyebaran informasi yang meluas ke masyarakat dan pendidikan mitigasi bencana yang tepat.
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply