JAKARTA, KalderaNews.com – Setelah hamper 2 tahun sekolah-sekolah ditutup demi menekan penyebaran virus Covid-19. Kini, pemerintah mendorong puluhan juta anak untuk kembali ke sekolah seiring pandemi yang makin terkendali.
Pembukaan kembali sekolah telah lama disuarakan berbagai pihak dan telah menjadi konsensus bahwa Belajar dari Rumah (BDR) dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ) adalah pengganti yang jauh dari sepadan dari pembelajaran normal di sekolah dengan Pembelajaran Tatap Muka (PTM).
BACA JUGA:
- Survei KPAI: 88 Persen Pelajar Bersedia Divaksin, Agar Cepat Tatap Muka di Sekolah
- Survei LIPI: Gara-Gara Pandemi, Satu dari Lima Orang Rajin Berolahraga, Kalau Kamu Gimana?
- Nadiem Makarim: Semua Perguruan Tinggi Buka Kuliah Tatap Muka, Inilah Panduannya
Tetapi, PTM terbatas secara masif di 471 kabupaten-kota dengan status PPKM level 1-3 segera memunculkan dampak yang tak diinginkan, yang telah diduga banyak pihak sebelumnya, yakni munculnya klaster sekolah.
Untuk melihat lebih jauh penerapan BDR dan PTM ini, IDEAS melakukan survei tatap muka dengan protokol kesehatan pada Agustus-September 2021, terhadap 98 kepala sekolah, 515 guru dan 826 peserta didik dari 114 satuan pendidikan setingkat SD-SMP yang tersebar di 9 provinsi.
Survei ini menunjukkan, sebesar 67,3 persen, telah mengadopsi PTM sejak lama dengan tingkatan yang berbeda-beda. Sebanyak 42,9 persen responden sekolah tercatat mengadopsi PTM secara intensif dalam pembelajaran, dengan proporsi 50 persen ke atas, melampaui anjuran pemerintah yang hanya mendorong PTM secara terbatas. Bahkan 9,2 persen responden sekolah telah mengadopsi pembelajaran dengan PTM secara penuh (100 persen PTM).
Tercatat pula, sebanyak 22,4 persen responden sekolah telah mengadopsi PTM sejak awal pandemi, di mana 6,1 persen di antaranya mengadopsi PTM secara penuh (100 persen PTM).
Dengan kata lain, mereka tidak pernah menutup sekolah sepenuhnya selama masa pandemi. Sebanyak 18,4 persen responden sekolah bahkan memulai adopsi PTM di bulan Juni 2021, ketika serangan virus gelombang ke-2 mulai melanda. Hanya 32,7 persen responden sekolah yang sama sekali belum melakukan PTM dan sepenuhnya menjalankan BDR.
Preferensi sekolah yang besar terhadap PTM, bahkan sejak awal pandemi, mengindikasikan kesulitan yang dihadapi untuk mengadopsi BDR dan keterbatasan kemampuan melakukan PJJ.
Responden sekolah yang telah mengadopsi PTM secara penuh, tercatat seluruhnya memiliki akreditasi B dan C. Sedemikian besar resistensi terhadap BDR bahkan ketika gelombang ke-2 pandemi melanda, tingkat risiko wilayah yang memburuk tidak mampu menghentikan adopsi PTM.
Hasil survey ini menunjukkan, berdasarkan persepsi responden kepala sekolah, sekolah yang sepenuhnya mengadopsi BDR cenderung memiliki guru dan peserta didik yang lebih siap untuk pembelajaran PJJ. Sedangkan sekolah yang telah mengadopsi PTM cenderung memiliki guru dan peserta didik dengan kesiapan yang lebih rendah untuk PJJ.
Dengan demikian, penutupan sekolah dan adopsi BDR secara penuh akan memukul peserta didik dari kelompok miskin secara lebih keras, yang berasal dari ketidaksiapan guru maupun ketidaksiapan peserta didik itu sendiri.
Berbagai studi juga menunjukkan penurunan kualitas pendidikan Indonesia secara signifikan selama PJJ yang diterapkan sejak awal pandemi. Kebijakan penutupan sekolah dan penerapan sistem BDR di masa pandemi sejak Maret 2020 telah memberi dampak signifikan bagi 646 ribu satuan pendidikan, 68,8 juta peserta didik dan 4,2 juta pengajar.
Dalam persepsi responden guru, survei ini menunjukkan, capaian belajar peserta didik jauh menurun di masa pandemi. Sebesar 50,9 persen guru meyakini peserta didiknya mengalami penurunan capaian belajar di beberapa mata pelajaran, dan bahkan 37,0 persen guru meyakini peserta didiknya menurun capaian belajarnya di seluruh mata pelajaran. Hanya 12,1 persen guru yang meyakini capaian belajar peserta didik-nya tidak menurun di masa pandemi.
Lebih jauh, penurunan capaian belajar peserta didik di masa pandemi ini paling banyak dialami peserta didik dari kelompok rentan, yaitu peserta didik yang sejak awal bersekolah (sebelum pandemi) capaian belajarnya sudah rendah, kemudian peserta didik dari keluarga miskin, dan peserta didik dengan kedua orangtua bekerja.
Dampak buruk penutupan sekolah semakin mengkhawatirkan karena tidak hanya berdampak pada capaian belajar peserta didik, tapi juga berdampak terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak yang sedang berada di tahap terpenting dalam kehidupannya, sehingga memiliki konsekuensi jangka panjang. BDR tak hanya berakibat pada learning loss dan learning poverty, seiring anak berada di luar sekolah, juga akan meningkatkan risiko kekerasan orangtua terhadap anak dan risiko eksternal anak seperti pernikahan dini, bekerja membantu orangtua hingga kenakalan remaja.
Lebih jauh, bagi anak, sekolah tidak hanya sekadar tempat belajar, namun juga tempat berteman, mendapatkan rasa aman, dan bentuk-bentuk dukungan sosial lainnya. Semakin lama sekolah ditutup dan anak berada di luar sekolah, semakin besar kerugian pembelajaran dan semakin rendah potensi diri anak yang tergali dengan implikasi yang harus ditanggung seumur hidupnya. Kembali ke sekolah adalah kerinduan besar bagi anak di masa pandemi.
*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu.
Leave a Reply