JAKARTA, KalderaNews.com – Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menemukan persentase dan jumlah penduduk buta aksara telah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan persentase dan jumah buta aksara tahun sebelumnya.
Angka buta aksara di Indonesia terus mengalami penurunan setiap tahunnya seiring dengan terlaksananya berbagai strategi yang inovatif dan sinergi berbagai pemangku kepentingan.
“Persentase buta aksara tahun 2019 sebanyak 1,78 persen atau 3.081.136 orang, dan pada tahun 2020 turun menjadi 1,71 persen, atau menjadi 2.961.060 orang,” tegas Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Dirjen PAUD Dikdasmen) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Jumeri pada Bincang Pendidikan secara virtual, Sabtu, 4 September 2021.
BACA JUGA:
- Pandemi Usai Kita Harus Jadi Pemenang Terkait Buta Aksara
- Buta Aksara Turun Jadi 1,78 Persen Pakai Data Lama, Daerah 3T Masih Memprihatinkan
- Angka Buta Aksara Saat Merdeka 97%, Sekarang Ini Cuma 1,93 %
Beberapa langkah strategis yang telah dilakukan dan dinilai mampu mendorong percepatan penuntasan buta aksara di Indonesia dengan capaian angka melek aksara untuk usia 15-59 tahun di atas 98 persen adalah sebagai berikut.
Ada 4 langkah strategus yang telah dilakukan, yakni pertama, pemutakhiran data buta aksara bekerjaana dengan BPS. “Dengan demikian dapat diukur capaian penuntasan buta aksara dan diketahui peta sebaran penduduk buta aksara tersebut sampai tingkat provisni dan Kabupaten/Kota. Mengacu pada peta sebaran buta aksara tersebut, kami menetapkan kebijakan layanan program pendidikan keaksaraan,” tutur Jumeri.
Kedua, peningkatan mutu layanan pendidikan dan pembelajaran keaksaraan dengan fokus utama pada daerah tertinggi persentase buta aksaranya. Kemdikbudristek melakukan pemberantasan buta aksara dengan sistem blok atau klaster, yaitu memusatkan program di kabupaten terpadat buta aksara pada lima provinsi yang tinggi buta aksaranya yaitu Papua (22,03%), Nusa Tenggara Barat (7,52%), Sulawesi Barat (4,46%), Nusa Tenggara Timur (4,24%), dan Sulawesi Selatan (4,11%).
Sistem blok dalam penuntasan buta aksara ini dipandang cukup efektif dalam upaya menurunkan persentase buta aksara. Bagi wilayah yang memiliki kekhususan, Kemendikbudristek juga menggulirkan program-program keaksaraan dengan memperhatikan kondisi daerah dan kearifan budaya lokal, seperti program Keaksaraan Dasar bagi Komunitas Adat Terpencil/Khusus.
Ketiga, pengembangkan jejaring dan sinergi kemitraan lintas sektor dalam penuntasan buta aksara dan pemeliharaan kemampuan keberaksaraan warga masyarakat. “Mekanismenya dengan melakukan sharing anggaran antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Selain itu kemitraan dengan perguruan tinggi, melalui kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik yang dikoordinasikan oleh Pusat/Balai Pengembangan PAUD dan Dikmas serta Dinas Pendidikan kabupaten dengan sasaran lembaga pendidikan nonformal dan organisasi mitra yang bergerak di bidang pendidikan seperti Aliansi Masyarakat Adat,” terang Jumeri.
Keempat, inovasi layanan program secara daring sehingga mempercepat akses oleh penyelenggara/pendidik/peserta didik. Penggerak pendidikan keaksaraan perlu memandang pandemi Covid-19 sebagai momentum yang tepat bagi untuk mengubah paradigma pendidikan dan pembelajaran. “Mulai dari menganalisis peran pendidik, kebijakan, sistem, tata kelola, serta tindakan yang efektif yang dapat mendukung aktivitas pendidikan dan pembelajaran. Terutama dengan mengintegrasikannya dengan berbagai kemudahan akses informasi berbasis teknologi,” tandasnya.
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply