JAKARTA, KalderaNews.com – Idulfitri tahun ini merupakan hari raya kedua pada masa pandemi Covid-19. Larangan mudik kembali ditetapkan untuk mencegah penularan dan penyebaran Covid-19 yang belum juga reda pada tahun kedua ini. Bila Idulfitri tahun lalu pencegahan penularan telah banyak digaungkan, maka tahun ini, informasi mengenai dampak virus yang belum ditemukan obatnya ini harus mulai dijadikan topik pendidikan kesehatan pada masyarakat. Badai sitokin salah satunya.
Meninggalkan pastor muda Raditya Oloan akibat badai sitokin cukup membuat banyak media massa membahas beritanya. Seperti dikabarkan, pastor yang dulunya memiliki masa lalu kelam tersebut dikabarkan terkena virus Corona sebelumnya. Namun, bukan virus tersebut yang menyebabkan kematiannya, melainkan dampak ikutannya.
BACA JUGA:
- Heboh Guru Lumpuh Usai Vaksinasi Covid-19, Yuk Kenali Apa Itu KIPI
- Mengenal Sindrom Guillain–Barré, Diagnosis Guru Susan Pasca Vaksinasi
- Buat Mahasiswa yang Suka Drakor, Dokter Reisa: Hati-hati Saat Pandemi Covid-19
Badai sitokin disebut sebagai salah satu dampak yang terjadi pasca penyebaran virus Covid-19 ini. Sindrom badai sitokin ini disebabkan karena peningkatan respon imun. Bila dalam kondisi normal sistem kekebalan berfungsi untuk membantu kita melawan infeksi, tetapi dalam kondisi pasca Covid-19 ini sistem kekebalan justru memperparah kondisi penyakit.
Saat terjadi infeksi, sistem kekebalan alami yang akan muncul secara alamiah. Bagian dari respon sistem kekebalan tersebut adalah pelepasan sitokin, yakni bahan kimia biologis yang merangsang jalur sel dan memungkinkan komunikasi antar sel. Sitokin ini ibarat sinyal sistem kekebalan untuk mulai melakukan tugasnya.
Dalam kondisi normal, hal ini merupakan kondisi yang wajar. Namun, ketika pelepasan sitokinnya terlalu banyak maka sistem kekebalan tubuh mulai menyebabkan kerusakan pada tubuh. Badai sitokin merupakan sebuah indikasi bahwa jalur sel telah dihidupkan mengarah ke produksi sejumlah mediator biologis yang dapat menyebabkan perubahan pada sistem tubuh dan mengganggu fungsi sel yang normal.
Sejumlah sitokin yang dilepaskan dapat menciptakan tingkat peradangan tinggi di area tubuh yang mengalami peradangan dapat berakibat fatal, bahkan dinilai mematikan daripada virus aslinya. Penyebab terjadinya badai ini dapat dipicu oleh sejumlah infeksi seperti influenza, pneumonia, dan sepsis.
Terjadi peningkatan respon imun yang tidak lazim pada penderita, tetapi belum diketahui penyebab pasti terjadinya peristiwa ini. Sebab peristiwa ini tidak terjadi pada semua orang.
Untuk penderita Covid-19, peristiwa ini dapat terjadi dengan cepat. Penderita Covid-19 yang mengalami badai sitokin biasanya mengalami gejala gemam dan sesak napas dan membutuhkan ventilator untuk bernapas. Kondisi ini biasanya terjadi sekitar enam atau tujuh hari setelah munculnya penyakit.
Munculnya badai sitokin ini tidak dapat diuji begitu saja dengan tes darah biasa. Indikasi yang mudah ditengarai dari terjadinya badai ini adalah penderita tetap mengalami kesulitan bernapas meskipun telah menerima oksigen.
Peristiwa yang dapat menyebabkan kematian ini tidak hanya terjadi pada penderita Covid-19, tetapi juga pengidap flu dan penyakit pernapasan lainnya. Badai sitokin juga memiliki kaitan erat dengan penyakit non-infeksi seperti multiple scleroris dan pankreatitis. Fenomena ini lebih dikenal setelah wabah virus flu burung H5N1 pada tahun 2005.
*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan share pada saudara, sahabat dan teman-temanmu!
Leave a Reply