Peneliti: Zonasi Tidak Mengurangi atau Merusak Kebhinekaan

Antrean Pendaftaran Sekolah di Depok
Antrean panjang pendaftaran sekolah sejak pagi hari terjadi di SMAN 3 Depok. Antrean meluber hingga di pinggir jalan, Senin, 17 Juni 2019 (KalderaNews/Fitri Nur Rahmasari)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com – Sejak 2017 pemerintah melalui amanat dari nawa cita Presiden Republik Indonesia berupaya untuk mengurangi kesenjangan yang terjadi di masyarakat. Untuk mengurangi kesenjangan tersebut, pemerintah mengambilkan kebijakan sistem zonasi yang menghadirkan pemerataan akses pada layanan pendidikan, serta pemerataan kualitas pendidikan nasional.

Pemberlakuan sistem zonasi, terang peneliti di Direktorat Sekolah Menengah Atas, Kemdikbud, Junus Simangunsong, di satu sisi ingin mempermudah akses layanan pendidikan bagi masyarakat sekitar sekolah, di sisi lain membuat masyarakat menjadi terkelompok dalam lingkunganya masing-masih.

Hal inilah yang membuat zonasi dipandang mengurangi nilai-nilai kebhinekaan. Hal lain yang sejalan yaitu bahwasannya kebijakan zonasi mengurangi kebhinekaan karena komposisi siswa di sekolah hanya siswa-siswi yang berasal dari lingkungan sekolah saja yang mana sistem ini dirasa bertolak belakang dengan tema multikultural atau kebhinekaan yang diangkat oleh pemerintah. Padahal tema tersebut muncul dan diaplikasikan dalam pendidikan.

BACA JUGA:

Beberapa pelaku pendidikan menganggap sistem zonasi bertolak belakang dengan tema multikultural atau kebhinekaan yang diangkat oleh pemerintah. Padahal tema tersebut muncul dan diaplikasikan dalam pendidikan.

Menurutnya, sebenarnya berbeda antara multikultural yang diangkat dalam pendidikan dengan multikulturalisme yang hilang dari sistem zonasi. Kaitanya dengan pendidikan multikultural, masih tetap bisa dijalankan meskipun siswa yang berpartisipasi merupakan siswa se zona.

Terlebih Indrapangastuti (2014: 13) mengungkapkan: “peran guru dalam pelaksanaan pendidikan multikultural meliputi: membangun paradigma keberagaman inklusif di lingkungan sekolah, menghargai keberagaman bahasa di sekolah, membangun sikap sensitif gender di sekolah, membangun pemahaman kritis dan empati terhadap ketidakadilan serta perbedaan sosial, membangun sikap anti diskriminasi etnis, menghargai perbedaan kemampuan dan menghargai perbedaan umur”.

Ia pun berpandangan pendidikan multikultural juga bisa diterapkan bersamaan dengan kebijakan zonasi. Terlebih sisem zonasi menghasilkan input siswa yang beragam, sehingga peran guru dalam pendidikan multikultural di atas dapat dilaksanakan.

Mendukung pernyataaan sebelumnya Rohman & Ningsih (2018) mengungkapkan: “Dengan penanaman pendidikan multikultural yang benar akan menghasilkan generasi muda di era revolusi industri 4.0 yang kreatif, inovatif, serta generasi yang berkarakter, berintegritas dan menjunjung tinggi toleransi sesuai identitas nasional bangsa Indonesia”.

Sehingga keberagaman siswa yang dihasilkan dari sistem zonasi dapat mendukung pembelajaran multikultural dan tidak mengurangi bahkan merusak kebhinekaan.

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu.




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*