Kepala Perpusnas: Indonesia Bukan Malas Membaca, Tapi Kekurangan Bahan Bacaan

Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Muhammad Syarif Bando. (KalderaNews.com/Ist.)
Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Muhammad Syarif Bando. (KalderaNews.com/Ist.)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com – Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Muhammad Syarif Bando membantah sejumlah survei yang mengatakan bahwa budaya membaca masyarakat Indonesia rendah. Masyarakat Indonesia, katanya, kekurangan bahan bacaan.

“Indonesia hanya kekurangan bahan bacaan, bukan malas membaca,” tegas Syarif.

BACA JUGA:

Syarif mencontohkan keberadaan Perahu Pustaka, Kuda Pustaka, Becak Pustaka, Angkot Pustaka, Mobil Pustaka, dan fasilitas bacaan lainnya yang disambut antusias oleh masyarakat. Kondisi ini nampak jelas terutama di beberapa wilayah perbatasan negara, di mana akses masyarakat ke bahan bacaan amat minim.

“Jika ada yang bilang ini era digital yang tak perlu buku, itu hanya berlaku untuk masyarakat di kota saja,” tegas Syarif sekali lagi.

Penduduk Indonesia berdasarkan data BPS kurang lebih 270 juta jiwa, namun jumlah bahan bacaan yang Perpusnas data di semua jenis perpustakaan umum (bukan di sekolah, perguruan tinggi, atau di rumah) hanya 22 juta.

Ini berarti, rasio buku dengan total penduduk belum mencapai satu buku per orang per tahun (0,098). Sementara, di Eropa dan Amerika, rata-rata sanggup menghasilkan 20-30 buku per orang setiap tahun.

Angka ini menguatkan bahwa orang Indonesia bukan malas membaca, namun kekurangan bahan bacaan, seperti buku. Menurut Syarif, anak-anak tidak membaca buku karena berbagai faktor. Pertama, akses ke buku cukup sulit.

“Faktor kedua yang menyebabkan minat baca Indonesia rendah, yakni bukunya jelek-jelek. Jadi, bukan salah orang Indonesia yang malas membaca, tapi salahkan bukunya yang kebanyakan tidak menarik, bahkan sebagian merusak imajinasi anak,” kata Syarif.

Banyak anak-anak di daerah yang lebih tahu soal hewan-hewan di belahan bumi lain ketimbang hewan-hewan di lingkungannya, dikarenakan mereka kekurangan suplai buku asli terbitan dalam negeri.

“Anak-anak lebih fasih berbicara tentang beruang kutub atau dinosaurus, ketimbang tentang kuda Sumba, karena banyak dijumpai di buku-buku terjemahan. Tapi kalau tentang kuda Sumba atau tentang elang Jawa, harusnya ditulis orang Indonesia sendiri yang lebih menarik,” imbuh Syarif.

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan bagi pada saudara, sahabat dan teman-temanmu!




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*