ROTE, KalderaNews.com – Yapp kamu ga salah baca. Ga percaya, silahkan langsung ke Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Dijamin kamu akan terpesona dan bangga dengan kekayaan yang kita miliki.
Jika kamu berkunjung ke sana, maka kamu akan berjumpa dengan salah satu alat musik tradisional Indonesia. Dengan sistem permainan yang cukup rumit plus jumlah dawai yang lebih banyak. Sasando nama alat musik itu.
Mungkin masih asing di telinga para pembaca, tapi sasando adalah salah satu alat musik khas Indonesia dan asli Pulau Rote. So, dilarang keras bagi negara lain mengklaim bahwa itu adalah milik mereka yaa.
BACA JUGA:
- Kamu Pencinta Diving? Selat Pantar Wajib Dikunjungi, Sob!
- Yuk Kenalan Dengan Kelabba Maja, Grand Canyon-nya NTT
- Intip Keindahan 5 Masjid Cheng Ho di Indonesia
Sasando juga sering disebut sasandu yang artinya alat yang bergetar atau berbunyi. Alat musik ini terbuat dari bambu dan daun lontar yang berfungsi sebagai resonator.
Sasando dimainkan dengan cara dipetik menggunakan kedua tangan secara berlawanan. Tangan kanan berperan untuk memainkan chord, sedangkan tangan kiri berperan sebagai pengatur melodi dan bas.
Dibutuhkan keterampilan tingkat tinggi untuk memainkan alat musik ini sobat ambyar. Karena itu, tidak mengherankan jika hanya segelintir orang yang bisa memainkan sasando.
Meski suara yang dihasilkan terdengar mirip dengan alat musik lain yang sama-sama dipetik, seperti harpa dan gitar, suara yang dihasilkan sasando memiliki kekhasan tersendiri.
Suara yang berbeda dan khas dapat dinikmati pada sasando yang masih tradisional dengan nada pentatonik yang dimilikinya. Sasando jenis inilah yang mengawali cikal bakal jenis sasando di kemudian hari.
Sayangnya, akibat perkembangan teknologi yang demikian pesat, sasando tradisional yang dikenal dengan sebutan sasando gong justru agak sulit ditemukan. Bahkan di Rote yang menjadi tempat lahir sasando pun sasando jenis ini sulit ditemukan.
Sasando yang banyak dimainkan dan diperkenalkan keluar Rote hingga ke panggung internasional lebih banyak didominasi sasando elektrik.
Karena itu, mungkin lebih baik agar tidak punah sasando jenis pentatonik mulai dikenalkan lagi ke orang muda dan dipentaskan di panggung nasional maupun internasional. Biar ga hilang ditelan bumi.
Filosofi Sasando
Bagi orang Rote di balik keunikan bentuk dan keindahan suaranya, sasando memiliki makna dan filosofi tersendiri.
Dawai sasando yang awalnya berjumlah tujuh konon melambangkan siklus kehidupan seorang anak manusia yang berada di dalam kandungan.
Orang Rote percaya, seorang bayi yang telah berusia 7 bulan telah sempurna secara fisik. Adapun dawai yang berjumlah 9 memiliki arti bahwa seorang anak telah siap dilahirkan ke dunia.
Sasando di awal kemunculannya pun hanya berdawai 7 atau 9. Dalam perkembangannya jumlah dawai sasando elektrik menjadi 48 sedangkan jumlah dawai dalam sasando gong hanya 11.
Penggunaan daun lontar juga tak lepas dari filosofi hidup orang Rote yang sejak dulu akrab dan bergantung pada pohon lontar yang tingginya bisa mencapai 30 meter, berbatang kasap, dengan penebalan sisa pelepah daun di bagian bawah. Orang Rote menyebutnya pohon tuak atau sopi.
Tak hanya sekadar alat musik, sasando bagi orang Rote memiliki makna mendalam. Alat musik ini melambangkan filosofi hidup orang Rote yang berpusat pada lontar.
Lontar juga pantang dijual karena merupakan penunjang utama kehidupan orang Rote. Segala kehidupan masyarakat Rote selalu berkaitan dengan pohan lontar.
Ada filosofi hidup orang Rote, yaitu mao tua do lefe bafi, artinya kehidupan cukup bersumber dari mengiris atau menyadap tuak serta memelihara babi.
Secara tradisional, orang Rote memulai perkampungan melalui pengelompokan keluarga dari pekerjaan mengiris tuak.
Umumnya komunitas atau kelompok kecil masyarakat Rote tinggal di sekitar pohon lontar. Dari pohon lontar itulah seluruh kebutuhan hidup orang Rote dipenuhi. Batang pohon lontar digunakan sebagai tiang untuk membangun rumah dan daunnya digunakan sebagai atap.
Buah lontar berwarna putih, tentu saja bisa dimakan. Sadapan air lontar diolah menjadi gula cair dan gula lempeng hingga olahan minuman keras yang disebut sopi.
Daunnya bisa digunakan sebagai bahan lintingan rokok, membuat topi khas Rote yang disebut Ti’i Langga, sasando, serta kebutuhan sehari-hari masyarakat Rote.
Tidak salah apabila lontar menjadi simbol kebudayaan dan peradaban karena dari pohon lontarlah akan menjamin kelangsungan hidup orang Rote. Karena itu, tidak mengherankan jika orang Rote menyebutnya sebagai pohon kehidupan.
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu!
Leave a Reply