JAKARTA, KalderaNews.com – Pertengahan Desember 1912, Tirto Adhi Soerjo terjerat kasus. Ia kembali tersangkut perkara delik pers karena tulisannya dianggap terlalu tajam. Tirto dilaporkan pejabat kolonial yang merasa dicemarkan nama baiknya.
Pria kelahiran Blora, Jawa Tengah, 1880 ini, diseret ke meja hijau. Ia divonis dan diasingkan ke Maluku.
BACA JUGA:
- 9 Februari, Hari Pers Nasional, Begini Sejarah dan Temanya
- 4 Manfaat Menulis yang Belum Diketahui, Bermanfaat Banget!
- Menantang, Inilah Manfaat Menulis dan Publikasi Jurnal Ilmiah untuk Mahasiswa
Kasus ini bukanlah yang pertama. Beberapa tahun sebelumnya, Tirto pernah diasingkan ke Lampung gegara persoalan yang nyaris sama.
Di Medan Prijaji edisi 1909, Tirto membongkar skandal yang melibatkan pejabat di Purworejo, Jawa Tengah, bernama A. Simon. Tirto mengungkap kongkalikong terkait pemilihan lurah yang diduga diotaki Simon.
Simon merasa nama baiknya dicemarkan. Ia membawa perkara ini ke ranah hukum. Pada 18 Oktober 1909, majelis hakim menjatuhkan hukuman kepada Tirto, yang lalu diasingkan ke Teluk Betung, Lampung, selama dua bulan.
Tirto memang bukan jurnalis sembarangan. Ia punya nyali tinggi. Meski telah dibui, ia tak kapok melontarkan kritik lewat tulisan. Melalui jurnalistik, Tirto membela kaum tertindas.
Setelah menjalani pengasingan di Maluku, Tirto pulang ke Betawi (Jakarta) pada 1914. Ia tinggal bersama Raden Goenawan yang pernah menjadi anak didiknya saat di Medan Prijaji.
Dalam industri jurnalistik Hindia Belanda, Tirto memimpin perusahaan media bernama N.V. Medan Prijaji yang menerbitkan beberapa surat kabar berpengaruh, seperti Medan Prijaji, Soeloeh Keadilan, serta Poetri Hindia.
Tapi, semua itu gulung tikar. Setelah dari pengasingan, Tirto selalu diawasi mata-mata kolonial. Tirto pun mengalami depresi berat selama bertahun-tahun.
Tanggal 7 Desember 1918, Tirto Adhi Soerjo meninggal dunia. Ia wafat dalam usia yang muda, 38 tahun. Tirto meninggal karena disentri. Jenazah Tirto dimakamkan di kawasan Mangga Dua.
Puluhan tahun kemudian, setelah nama Tirto Adhi Soerjo terbenam, Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara menulisnya.
“Kira-kira pada tahun berdirinya Boedi Oetomo, ada seorang wartawan modern yang menarik perhatian karena lancar dan tajamnya pena yang ia pegang, yaitu almarhum R.M. Djokomono, kemudian berganti nama Tirto Adhi Soerjo. Beliau boleh disebut pelopor dalam lapangan jurnalistik,” tulis Ki Hadjar, dikutip dari buku Sebelas Perintis Pers Indonesia karya Soebagijo I.N. (1974: 34).
Pramoedya Ananta Toer pun mengabadikan perjalanan Tirto dalam karya sastra bertajuk “Tetralogi Pulau Buru”, yakni Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Pram memakai nama Minke untuk menyebut Tirto Adhi Soerjo dalam tetralogi itu.
Pramoedya juga menulis hasil riset tentang Tirto Adhi Soerjo dalam buku non-fiksi berjudul Sang Pemula. Ia menggelari Tirto sebagai Bapak Pers Nasional, label yang juga dikukuhkan pemerintah RI pada 1973. Akhirnya, pada 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Tirto Adhi Soerjo sebagai Pahlawan Nasional.
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply