Sejumlah Pakar Soroti Tantangan Kebebasan Beragama dan Berpendapat di Indonesia

Peserta Series #3 Orange Talk yang diselenggarakan Jaringan Alumni Belanda di Indonesia (NL Alumni Network Indonesia) pada Jumat, 26 Februari 2021
Peserta Series #3 Orange Talk yang diselenggarakan Jaringan Alumni Belanda di Indonesia (NL Alumni Network Indonesia) pada Jumat, 26 Februari 2021 (KalderaNews/Dok.Jaringan Alumni Belanda)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com – Sejumlah pakar menyoroti tantangan menjaga kebebasan beragama dan berpendapat dalam mewujudkan Indonesia yang aman dan damai di acara Series #3 Orange Talk yang diselenggarakan Jaringan Alumni Belanda di Indonesia (NL Alumni Network Indonesia) pada Jumat, 26 Februari 2021.

Mereka adalah Prof. Mohammad Abdun Nasir, PhD (Profesor dalam bidang Hukum Islam di Fakultas Syariah UIN Mataram, alumnus Universitas Leiden), Dr. Mirza Noor Milla (Associate Professor di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia), Dr. Chris J. Chaplin (Peneliti di kajian Asia Tenggara), Dr. Jan-Willem van Prooijen (Associate Professor dalam bidang psikologi sosial dan organisasi dari VU Amsterdam).

Associate Professor di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), Dr. Mirza Noor Milla dalam materi berjudul “Managing Religious Diversity in Indonesia; The role of government satisfaction on religious conservative’s acceptance to democracy” mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang kuat dalam memegang tradisi agama.

BACA JUGA:

Ia menandaskan hal ini sebagai fundamen yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Lebih jauh lagi, ia memaparkan betapa narasi agama juga pada akhirnya juga akan banyak digunakan sebagai regulasi dalam persoalan di tengah masyarakat, mulai dari yang berkaitan dengan hal sosial, politik, hingga ekonomi.

Dr. Mirza Noor menambahkan bahwa salah satu pemicu radikalisme adalah adanya ketidakpastian negara dan keadaan negara yang darurat dalam segi sosial, ekonomi dan politik yang memungkinkan kaum fundamentalis agama mengambil peran.

Solusi yang ditawarkan dalam menahan gerakan radikalisme adalah dengan meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah, sehinga nantinya akan menimbulkan kepercayaan dari masyarakat.

“Ini adalah cara yang lebih baik daripada menyerang ideologi mereka yang mana akan membuat kelompok tersebut makin besar,” jelasnya di acara bertema “Religious-Based Populism: A Challenge to Maintain Religious-Pluralism And Peace Security In Indonesia” tersebut.

Narasumber selanjutnya adalah Dr. Chris J. Chaplin lebih banyak membahas seputar tren terkini dalam mobilisasi keagamaan. Dr. Chris mengawali presentasinya dengan mengulas persoalan politik agama yang memanas di tahun 2016 (baca kasus Ahok) dan berimbas hingga saat ini.

“Demokrasi yang di satu sisi memberikan dampak positif bagi kebebasan berpendapat dan beragama, namun di sisi lain juga dapat menjadi ancaman bagi keduanya,” ungkapnya.

Prof. Mohammad Abdun Nasir, PhD pun melanjutkan sesi presentasi dengan memaparkan materi dari sudut pandang hukum Islam dan perlindungan terhadap kaum minoritas “Religious populism, freedom of association and protection of minorities” .

Dalam presentasinya, Prof Nasir menyatakan bahwasanya syariah bisa saja menjadi bagian dari agenda populisme dalam Islam, tetapi hal ini membutuhkan pembentukan kembali, dimana syariah di sini dipahami sebagai fikih atau bagian dari hukum Islam yang dapat diubah, yaitu yang berkaitan dengan interaksi sosial dan manusia (muamalat).

Lebih jauh lagi, ia juga tegaskan bahwasanya perlindungan terhadap kaum minoritas adalah salah satu hal yang tidak bisa dilupakan dalam mewujudkan semangat pluralisme dan kebebasan beragama.

Sementara itu, Dr. Jan-Willem van Prooijen banyak menyinggung psikologi sosial dan polarisasi masyarakat dalam menyikapi persoalan ini. Diantara pembahasannya adalah apa daya tarik gerakan populis?

Ia menjelaskan bahwa gerakan populis dapat memuaskan masyarakat yang membutuhkan kejelasan epistemik. Hal ini merambah kepada pemaparan gambaran realitas politik yang terlalu disederhanakan dan secara kognitif “mudah dipahami”.

Dengan demikian maka masyarakat akan terdiri dari “kelompok baik” lawan “kelompok buruk” dan memunculkan solusi yang simpel untuk masalah yang kompleks.

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat, dan teman-temanmu




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*