BANDUNG, KalderaNews.com – Vulkanolog Dr. Eng. Mirzam Abdurrachman, S.T., M.T., dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB menjelaskan ada tiga faktor utama mengapa sejumlah gunung api mengalami kenaikan aktivitas vulkanik hingga meletus, misalnya Gunung Merapi, Gunung Semeru, Gunung Sinabung yang akhir-akhir ini mengalami peningkatan aktivitas.
“Jadi pada prinsipnya gunung api meletus itu terjadi karena ada ketidakstabilan di dalam dapur magma. Karena ketidakstabilan tersebut kemudian dikonversikan menjadi letusan,” ujarnya seperti dikutip dari situs resmi ITB.
BACA JUGA:
- Inilah Link untuk Memantau Aktivitas Gunung Merapi Lewat CCTV dan Nomor Telepon Penting
- Begini Strategi Badan Geologi Pantau Gunungapi Anak Krakatau
- USGS dan USAID Update Ilmu dan Rapatkan Barisan Hadapi Ancaman Gempa dan Tsunami
Dr. Mirzam lantas menjelaskan 3 alasan utama mengapa gunung api bisa alami kenaikan aktivitas vulkanik hingga meletus:
Pertama, Kondisi di bawah dapur magma
Hal ini berkaitan dengan adanya pasokan (supply) magma baru. Proses tersebut berkaitan dengan proses geologi di mana adanya subduksi, palung, adanya pemekaran lantai samudra, dan terdapat titik panas. Selama proses tektonik tersebut bekerja maka proses pembentukan pasokan magma baru akan terjadi.
“Akibatnya ketika magma baru itu terbentuk dia bergabung dengan magma yang sudah ada di dalam dapur magma. Nah ketika terjadi kelebihan volume maka kelebihannya itu harus dikeluarkan sehingga terjadilah erupsi,” ungkapnya. Ia menegaskan, bahwa erupsi yang disebabkan oleh faktor pertama sifatnya siklus, yang bisa dipelajari, ada rentang waktunya, dan volumenya relatif sama.
Kedua, Kondisi di dalam dapur magma
Menurut Dr. Mirzam, hal ini berkaitan dengan jumlah magma yang terdapat di dalamnya. Di dalam ruang itu, magma mengkristal karena suhu menurun. Magma yang sudah terkristalisasi lebih berat daripada batuan panas semi-cair sehingga akan tenggelam ke dasar ruang magma. Ini mendorong sisa magma ke atas, menambah tekanan pada penutup ruang itu. Sebuah letusan terjadi saat tutupnya tidak lagi mampu menahan tekanan. Hal ini juga terjadi dalam sebuah siklus sehingga dapat diprediksi.
“Yang berat tenggelam dan yang ringan ke atas maka akan terjadi erupsi karena ada tekanan gas ke atas. Faktor yang kedua ini juga sifatnya masih siklus, bisa diprediksi. Tetapi ada proses yang di dalam dapur magma ini yang sifatnya tidak siklus, tiba-tiba keluar dari polanya. Nah ini biasanya terjadi ketika dapur magmanya ambruk. Sehingga diibaratkan seperti ember yang sudah penuh kemudian dimasukkan batu ke dalamnya maka airnya pun akan keluar dan ini sulit diprediksi,” jelasnya.
Ketiga, Kondisi di atas dapur magma atau permukaan gunung
Faktor yang terakhir adalah kondisi di atas permukaan gunung. Salah satunya adalah perubahan pasang-surut ketika gerhana bulan dan gerhana matahari terjadi.
Untuk kasus ini, gunung-gunung api yang berada di tengah laut ini relatif lebih sensitif karena permukaan air yang naik akan menambah tekanan terhadap gunung api yang berada di tengah laut. Sehingga apabila gunung apinya berada pada titik kritis maka dia akan cenderung “batuk-batuk”. Misalnya Krakatau, Gamalama, Banda Api, dan lain-lain.
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu.
Leave a Reply