Cocok Untuk Ucapan Hari Ibu, Inilah 5 Puisi Karya Sastrawan Indonesia

Ilustrasi: 5 puisi karya sastrawan Indonesia yang cocok untuk ucapan Hari Ibu 2020. (KalderaNews.com/repro: y.prayogo)
Ilustrasi: 5 puisi karya sastrawan Indonesia yang cocok untuk ucapan Hari Ibu 2020. (KalderaNews.com/repro: y.prayogo)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com – Setiap 22 Desember, kita memperingati Hari Ibu. Peringatan ini sebagai bentuk penghargaan kepada perjuangan perempuan Indonesia dari masa ke masa.

BACA JUGA:

Nah, agar berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, kamu bisa membuat ucapan Hari Ibu dengan inspirasi dari para sastrawan Indonesia. Berikut ini 5 puisi tentang ibu karya sastrawan Indonesia:

Surat Untuk Ibu (karya Joko Pinurbo)

Akhir tahun ini saya tak bisa pulang, Bu.
Saya lagi sibuk demo memperjuangkan nasib saya
yang keliru. Nantilah, jika pekerjaan demo
sudah kelar, saya sempatkan pulang sebentar.

Oh ya, Ibu masih ingat Bambang, ‘kan?
Itu teman sekolah saya yang dulu sering numpang
makan dan tidur di rumah kita. Saya baru saja
bentrok dengannya gara-gara urusan politik
dan uang. Beginilah Jakarta, Bu, bisa mengubah
kawan menjadi lawan, lawan menjadi kawan.

Semoga Ibu selalu sehat bahagia bersama penyakit
yang menyayangi Ibu. Jangan khawatirkan
keadaan saya. Saya akan normal-normal saja.
Sudah beberapa kali saya mencoba meralat
nasib saya dan syukurlah saya masih dinaungi
kewarasan. Kalaupun saya dilanda sakit
atau bingung, saya tak akan memberi tahu Ibu.

Selamat Natal, Bu. Semoga hatimu yang merdu
berdentang nyaring dan malam damaimu
diberkati hujan. Sungkem buat Bapak di kuburan.

Ibu (karya KH. Mustofa Bisri)

Kaulah gua teduh
tempatku bertapa bersamamu
sekian lama

Kaulah Kawah
darimana aku meluncir dengan perkasa

Kaulah bumi
yang tergetar lembut bagiku
melepas lelah dan nestapa
gunung yang menjaga mimpiku
siang dan malam
mata air yang tak brenti mengalir
membasahi dahagaku
telaga tempatku bermain
berenang dan menyalam

Kaulah Ibu, laut dan langit
yang menjaga lurus horisonku

Kaulah ibu, mentari dan rembulan
yang mengawal perjalananku
mencari jejak sorga
ditelapak kakimu

(Tuhan, aku bersaksi ibuku telah melaksanakan amanat-Mu, menyampaikan kasih sayang-Mu maka kasihilah ibuku seperti Kau mengasihi kekasih-kekasih-Mu, Amin).

Sajak Ibu (karya Wiji Thukul)

ibu pernah mengusirku minggat dari rumah
tetapi menangis ketika aku susah
ibu tak bisa memejamkan mata
bila adikku tak bisa tidur karena lapar
ibu akan marah besar
bila kami merebut jatah makan
yang bukan hak kami
ibuku memberi pelajaran keadilan
dengan kasih sayang
ketabahan ibuku
mengubah rasa sayur murah
jadi sedap
ibu menangis ketika aku mendapat susah
ibu menangis ketika aku bahagia
ibu menangis ketika adikku mencuri sepeda
ibu menangis ketika adikku keluar penjara
ibu adalah hati yang rela menerima
selalu disakiti oleh anak-anaknya
penuh maaf dan ampun
kasih sayang ibu
adalah kilau sinar kegaiban tuhan
membangkitkan haru insan
dengan kebajikan
ibu mengenalkan aku kepada Tuhan

Ibu (karya Sapardi Djoko Damono)

Ibu masih tinggal di kampung itu, ia sudah tua. Ia
adalah perempuan yang menjadi korban mimpi-mimpi
ayahku. Ayah sudah meninggal, ia dikuburkan di sebuah
makam tua di kampung itu juga, beberapa langkah saja
dari rumah kami. Dulu Ibu sering pergi sendirian ke
makam, menyapu sampah, dan kadang-kadang,
menebarkan beberapa kuntum bunga. “Ayahmu bukan
pemimpi,” katanya yakin meskipun tidak berapi-api, “ia
tahu benar apa yang terjadi.”

Kini di makam itu sudah berdiri sebuah sekolah,
Ayah digusur ke sebuah makam agak jauh di sebelah
utara kota. Kalau aku kebetulan pulang, Ibu suka
mengingatkanku untuk menengok makam ayah,
mengirim doa. Ibu sudah tua, tentu lebih mudah
mengirim doa dari rumah saja. “Ayahmu dulu sangat
sayang padamu, meskipun kau mungkin tak pernah
mempercayai segala yang dikatakannya.”

Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, sambil
menengok ke luar jendela pesawat udara, sering
kubayangkan Ibu berada di antara mega-mega. Aku
berpikir, Ibu sebenarnya lebih pantas tinggal di sana, di
antara bidadari-bidadari kecil yang dengan ringan
terbang dari mega ke mega – dan tidak mondar-mandir
dari dapur ke tempat tidur, memberi makan dan
menyusui anak-anaknya. “Sungguh, dulu ayahmu sangat
sayang padamu,” kata Ibu selalu, “meskipun sering
dikatakannya bahwa ia tak pernah bisa memahami
igauan-igauanmu.”

Ibu (karya Chairil Anwar)

Pernah aku ditegur
Katanya untuk kebaikan
Pernah aku dimarah
Katanya membaiki kelemahan
Pernah aku diminta membantu
Katanya supaya aku pandai

Ibu…
Pernah aku merajuk
Katanya aku manja
Pernah aku melawan
Katanya aku degil
Pernah aku menangis
Katanya aku lemah

Ibu…
Setiap kali aku tersilap
Dia hukum aku dengan nasihat
Setiap kali aku kecewa
Dia bangun di malam sepi lalu bermunajat
Setiap kali aku dalam kesakitan
Dia ubati dengan penawar dan semangat
dan bila aku mencapai kejayaan
Dia kata bersyukurlah pada Tuhan
Namun…
Tidak pernah aku lihat air mata dukamu
Mengalir di pipimu
Begitu kuatnya dirimu…

Ibu…
Aku sayang padamu…
Tuhanku….
Aku bermohon pada-Mu
Sejahterahkanlah dia
Selamanya…

Cek Berita dan Artikel KalderaNews.com lainnya di Google News

*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmuTertarik menjalin kerjasama dengan KalderaNews.com? Silakan hubungi WA (0812 8027 7190) atau email: kalderanews@gmail.com




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*