Pelatihan Guru 32 Jam Masih Menimbulkan Polemik di Kalangan Pendidik

Sekjen PP IGI, Khairuddin hadir dalam diskusi webinar pada Minggu (1/11) (KalderaNews/Syasa Halima)
Sekjen PP IGI, Khairuddin hadir dalam diskusi webinar pada Minggu (1/11) (KalderaNews/Syasa Halima)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com – Ngopi seksi (Ngobrol Pintar Seputar Kebijakan Edukasi) menghadirkan topik hangat pada webinarnya “Mengukur Ragam Pelatihan Guru: Prioritas atau Formalitas”. Pada webinar hadir Khairuddin selaku Sekjen Pengurus Pusat IGI memaparkan mengenai permasalahan sertifikasi guru 32 jam.

“Persoalan kita sebenarnya 32 jam. Persoalan 32 jam sebenarnya bukan masalah sederhana di kalangan guru, terutama di kalangan penyelenggara pelatihan karena akan menjadi tuntutan,” ujarnya.

Ia menyebutkan bahwa tuntutan sertifikat 32 jam sudah menjadi instrumen, misalnya naik pangkat golongan. Kemudian, sertifikat tersebut juga diperlukan untuk menjadi guru berprestasi. Bukti tersebut wajib tercantum di portofolio.

BACA JUGA:

Ia juga membahas bahwa penyelenggaraan pelatihan yang bermutu sudah terlaksana dengan baik sejak 2012. Ia memberi contoh penyelenggaraan dan mekanisme yang dilakukan oleh LMS Muda dan Microsoft Educater Community (MED).

“Ini persoalan kompetensi guru dan penyelenggaraka pelatihan yang bermutu sudah dilaksanakan baik. Tahun 2012 penyelenggaraanya pakai LMS Muda dan dikawal betul. Kalau misalnya kita tidak hadir, maka akan ditelepon, di sms, sehingga sertifikat yang kita peroleh dapat dipertanggungjawabkan dan berkualitas,” tuturnya saat webinar.

Menurutnya, kapasitas instruktur dan teamwork juga memengaruhi kualitas suatu pelatihan guru. Semakin sedikit dan kompeten jumlah instruktur, maka akan semakin mumpuni pendampingan untuk pengembangan kompetensi guru.

“Lalu, kedua ada Microsoft Educater Community. Tesnya yaitu membaca, lalu jawab soal, kemudian keluar sertifikat. Sebenarnya yang jadi masalah yaitu sertifikat guru di Indonesia menggunakan ukuran jam. Karena, kalau misalnya kita memperoleh penghargaan dari luar (negeri), misalnya dari microsoft, itu tidak pernah ada kata jam,” ucapnya.

Ia menyorot bahwa kompetensi guru 32 jam menimbulkan polemik, terlebih jika menggunakan sistem daring. Hal ini menjadi tugas bagi Kemendikbud untuk mempersempit kembali definisi pelatihan guru laring dan daring.

“Kalau di Indonesia wajib ada stempel, lalu tertera 32 jam, kalau tidak maka tidak dihitung angka kredit. ini yang sebenarnya menjadi polemik, apakah benar 32 jam sudah memberikan kita sebuah kecakapan yang dituntut itu? Apalagi pelatihan online yang mengerjakan soalnya bisa orang lain,” ujarnya.

Demi membantu kebutuhan guru dalam memperoleh sertifikasi 32 jam, maka IGI hadir sekaligus untuk membantu Kemendikbud. Ia menuturkan bahwa pelatihan daring yang sudah masif belum tentu merangkul semua kalangan guru.

“Pelatihan-pelatihan yang diberikan oleh IGI itu sebenarnya upaya dari guru untuk membantu kemendikbud. karena ketika berbicara UU No 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, dan ketika guru diakui sebagai sebuah profesi, berarti pemerintah harus menyejahterakan guru. Pemerintah harus memberikan pelatihan untuk seluruh guru,” tandasnya.

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*