Apa Itu Sindrom FoMO (Fear of Missing Out) yang Banyak Menjangkiti Generasi Milenial?

Sindrom FoMO (Fear of Missing Out)
Sindrom FoMO (Fear of Missing Out) (KalderaNews/Ist)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com – Generasi milenial yang identik dengan sosial media ternyata bisa lho terjangkiti sindrom yang bernama FoMO. Sindrom FoMO (Fear of Missing Out) dimengerti sebagai semacam ketakutan yang dirasakan oleh seseorang bahwa orang lain mungkin sedang mengalami suatu hal atau kejadian menyenangkan, namun ia tidak ikut merasakan hal tersebut.

Mereka yang gampang terjangkiti sindrom ini adalah anak umur dua puluhan. Sindrom FoMO ini social anxiety yang lahir dari kemajuan teknologi-informasi, dan teristimewa karena pengaruh keberadaan sosial media.

Istilah FoMO pertama kali dicetuskan oleh Dr. Dan Herman pada 1996. Namun, term FoMO banyak digunakan sejak Instagram dan Facebook menjadi media sosial populer di masyarakat.

BACA JUGA:

Hasil studi di jurnal Psychiatry Research menemukan bahwa ketakutan akan kehilangan dikaitkan dengan penggunaan smartphone dan penggunaan media sosial yang lebih sering tanpa terkait dengan usia atau jenis kelamin.

Penelitian ini juga menemukan bahwa orang yang menggunakan media sosial dan smartphone secara berlebihan lebih mudah terjangkit sindrom FoMO.

King University menuliskan bahwa FOMO ini adalah perasaan atau persepsi bahwa hidup orang lain lebih menyenangkan dibandingkan hidup kita. Orang lain lebih nyaman dan menikmati banyak hal daripada yang kita alami. Buktinya, unggahan media sosial yang mereka tampakkan menunjukkan bahwa orang lain memiliki hidup bahagia dan menyenangkan.

Perasaan FOMO ini memantik rasa iri hati dan menurunkan citra diri (low self-esteem), yang kerap kali dipicu melalui Instagram atau Facebook. Karena itulah, kita merasa ketinggalan dan merasa tidak mampu melakukan seperti yang dinikmati orang lain

Mereka gampang terpengaruh oleh sosial media yang lambat-laun melahirkan perasaan takut ketinggalan dengan yang lainnya. Bermula dari kepo yang berlebihan, lambat-laut mereka terjangkiti sindrom FoMO.

Kaum ini takut ketinggalan dari teman, sahabat dan orang-orang dekatnya karena kebiasaan ngintip gaya hidup mereka melalui sosial media. Kaum sindrom ini lalu menggunakan segala cara supaya bisa diterima oleh orang-orang yang memiliki status sosial yang lebih tinggi atau perlente, tetapi sesungguhnya secara ekonomi “kere”.

Uniknya, anak-anak muda “kere” ini rela kelaparan biar dianggap eksis. Mereka rela pontang-panting mengejar gaya hidup tinggi, padahal penghasilan sama sekali belum mampu menopang alias besar pasak daripada tiang.

Tak sebatas itu saja, gaya hidup gali lobang tutup lobang pun menjadi kebiasaan karena mereka ini berusaha lari meninggalkan identitas pengonsumsi nasi kucing dan es teh manis, demi disangka pengonsumsi burger dan kola. Dari situ kemudian lari lagi demi dikira penggemar keju dan champagne.

Anak muda “kere” yang terjangkiti sindrom FoMO ini mengejar gaya hidup selangit, tapi tak peduli rekeningnya terkuras hingga utang sana-sini.

Fakta unik lainnya yaitu mereka ini ternyata memiliki tipe generasi orang tua yang jarang berdiskusi soal uang, apalagi mengajari soal pengaturan keuangan.

Tak mengherankan, situasi ini memungkinkan pengaruh eksternal gampang memengaruhi mereka.

Nah, terkait dengan manajemen keuangan, mereka ini menjadi generasi tersesat. Mereka kehilangan kendali untuk mengelola keuangan mereka sendiri. Memang sangat disayangkan.

FoMO dibarengi dengan amburadulnya keuangan. Boro-boro mikir investasi, atur keuangan pribadi saja kacau-balau hingga gali lobang tutup lobang.

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat, dan teman-temanmu




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*