Gawat, Kepunahan Keanekaragaman Hayati Terjadi 10-30 Kali Lebih Cepat

Profesor Koos Biesmeijer, selaku Scientific Director Naturalis dan Professor Natural Capital Leiden University menyampaikan paparan mengenai Biodiversitas sebagai dasar kolaborasi untuk masa depan yang lebih hijau (KalderaNews/Syasa Halima)
Profesor Koos Biesmeijer, selaku Scientific Director Naturalis dan Professor Natural Capital Leiden University menyampaikan paparan mengenai Biodiversitas sebagai dasar kolaborasi untuk masa depan yang lebih hijau (KalderaNews/Syasa Halima)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com – Profesor Koos Biesmeijer, selaku Scientific Director Naturalis dan Professor Natural Capital Leiden University hadir pada Week of Indonesia-Netherlands Education and Research (WINNER) 2020. Ia menyampaikan bahwa keanekaragaman hayati merupakan basis untuk kolaborasi demi masa depan yang lebih hijau. Ia menyebutkan tanpa keanekaragaman hayati, maka Bumi tidaklah layak tinggal.

“Tanpa keanekaragaman hayati, planet tempat kita tinggal, Bumi, maka tidak akan ada biru dan hijau. Bumi jadi tempat yang tidak layak untuk tempat tinggal,” jelasnya saat menyampaikan materi.

Ia menuturkan bahwa keanekaragaman hayati merupakan masa depan manusia. Ketika berbicara mengenai pembangunan berkelanjutan, seharusnya kenekaragaman ini masuk pertimbangan utama. Jika diabaikan, maka banyak sekali spesies, baik hewan atau tumbuhan, menjadi punah.

BACA JUGA:

Ia memperkirakan lebih dari 1 juta spesies terancam punah dalam beberapa dekade, yakni sekitar 5% hingga 10% spesies di Bumi. Ironisnya, masih banyak sekali spesies yang belum ditemukan. Banyak spesies akan punah jika manusia tidak melakukan apapun, seperti halnya dinosaurus. Tetapi, dinosaurus punah karena faktor alam, bukan faktor buatan manusia.

“Kepunahan sekarang menjadi lebih cepat 10 hingga 30 kali daripada tahun-tahun sebelumnya. Kita berbicara banyak mengenai Covid-19, cuci tangan dan kita merasa siap dengan masa depan, padahal banyak sekali gelombang besar lainnya selain Covid-19 dan resesi, seperti perubahan iklim dan kepunahan spesies hewan dan tumbuhan. Jika tidak diatasi, maka tidak akan ada spesies yang tersisa untuk generasi penerus,” tegasnya.

Lalu, ia membandingkan Indonesia dan Belanda dalam keanekaragaman hayati. Menurutnya, Indonesia juara dunia keanekaragaman hayati, sedangkan Belanda juara dunia hilangnya keanekaragaman hayati.

“Keanekaragaman hayati merupakan dasar untuk kolaborasi pembangunan berkelanjutan, mungkin Belanda bisa belajar dari indonesia bagaimana menghadapi kekayaan alam yang sangat melimpah,” ucapnya.

Meskipun begitu, Belanda mengawetkan banyak spesies dengan teknologi, seperti digitalisasi 300 ribu kupu-kupu dari Indonesia. Hal ini bertujuan untuk mempelajari taksonominya, sehingga pengawetan memiliki nilai untuk dipelajari kembali oleh para peneliti.

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat, dan teman-temanmu




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*