Dilema Mengungsi dari Letusan Gunung Merapi Vs Physical Distancing Pandemi Covid-19

Pengungsi Gunung Merapi di Tamanagung Muntilan
Pengungsi Gunung Merapi di Tempat Evakuasi Akhir (TEA) Tamanagung, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, Jumat malam, 6 November 2020 (KalderaNews/Loyola Kukuh)
Sharing for Empowerment

MAGELANG, KalderaNews.com – Sejak Badan Penyeledikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta menaikkan status Gunung Merapi dari tingkat waspada ke siaga (level III) mulai 5 November 2020 sejak pukul 12.00 WIB, gelombang pengungsi dari kelompok rentan yakni anak-anak, balita, orangtua, orang sakit, orang hamil mulai mengungsi pada Jumat, 6 November 2020.

Warga lereng Gunung Merapi di Magelang pun mulai mengungsi, tak terkecuali sejumlah warga rentan di Dusun Gemer, Ngargomulyo, Dukun, Magelang, Jawa Tengah yang mengungsi ke Tempat Evakuasi Akhir (TEA) di Desa Tamanagung, Kecamatan Muntilan.

Tempat Evakuasi Akhir (TEA) di tengah pandemi Covid-19 masih dalam proses desain khusus dengan sekat pemisah atau bilik yang terbuat dari papan kayu. Segala fasilitas protokol kesehatan juga dilengkapi di sekitar TEA, seperti tempat cuci tangan, hand sanitizer, disinfektan dan lainnya.

BACA JUGA:

Setiap sekat berukuran sekitar 2 x 2 meter rencananya diisi satu keluarga. Pemisahan ini bertujuan untuk mengantisipasi penularan Covid-19. Pantauan KalderaNews, sejumlah pengungsi dari desa lain yang tersebar di beberapa TEA juga sudah mulai berdatangan sejak Jumat kemarin.

Sistem Managemen Pengungsian Desa Bersaudara

Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Magelang, Edi Susanto menyampaikan pada KalderaNews hingga Jumat malam ada 607 pengungsi dari 3 desa (Desa Ngargomulyo ada 127 jiwa, Desa Krinjing 124 jiwa dan Paten 356 jiwa) yang tersebar di 4 TEA .

Ketiga desa yang masuk dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB) III tersbut adalah Desa Krinjing, Desa Paten dan Desa Ngargomulyo di Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.

Ada pun keempat titik lokasi pengungsian saat ini adalah Desa Banyurojo, Desa Mertoyudan, Desa Deyangan (Kecamatan Mertoyudan) dan Desa Tamanagung (Kecamatan Muntilan).

“Mereka mengungsi di desa pasangannya. Kita menggunakan sistem managemen pengungsian desa bersaudara yang selama ini sudah rencanakan, latihkan dan mempraktikkan. Sekarang mereka mengungsi seperti rencana dan berjalan baik.”

Gelombang pengungsi dari kelompok rentan yakni anak-anak, balita, orangtua, orang sakit, orang hamil di Desa Gemer, Ngargomulyo, Dukun, Magelang, Jawa Tengah yang mulai mengungsi pada Jumat, 6 November 2020
Gelombang pengungsi dari kelompok rentan yakni anak-anak, balita, orangtua, orang sakit, orang hamil di Desa Gemer, Ngargomulyo, Dukun, Magelang, Jawa Tengah yang mulai mengungsi pada Jumat, 6 November 2020 (KalderaNews/Loyola Kukuh)

Ia menambahkan tempat pengungsiannya telah ditata sejak dulu dengan sistem berpasangan. Yang terdampak sudah punya desa pasangan dan ketika mengungsi pasti ke desa yang menjadi pasangannya. Desa penyangga sebagai pasangannya juga sudah tahu bahwa suatu ketika akan datang pengungsi dari desa yang terdampak Merapi.

“Sehingga relatif lancar karena langsung menuju ke pasangannya. Tidak mendiskusikan lagi saya kemana, di sana siapa yang menerima hingga siapa yang bertugas. Di jalan juga tidak crownded atau pengungsi yang hilang. Kasus-kasus pengalaman 2010 hampir semuanya bisa dieliminasi, tidak ada lagi pengulangan kesalahan di 2010,” terangnya.

Tahap evakuasi tahap pertama pada Jumat, 6 November 2020 adalah prioritas kelompok rentan. Kelompok rentan itu adalah anak-anak, balita, orangtua, orang sakit dan ibu hamil.

“Malam ini masing-masing desa terus melakukan evaluasi siapa yang akan diungsikan lagi dan menajamkan catatan sosial siapa saja yang seharusnya mengungsi karena untuk meyakinkan mengungsi itu juga perlu pendekatan yang tepat.”

Ada banyak faktor yang membuat orang ragu-ragu atau menolak untuk mengungsi, mulai faktor mata pencaharian, petani harus panen, pertimbangan ternak dan pertimbangan lain. Ini perlu komunikasi yang baik.

Mengungsikan Vs Menangani Covid-19

Tempat Evakuasi Akhir (TEA) di tengah pandemi Covid-19 berdesain khusus, yakni dengan sekat pemisah atau bilik yang terbuat dari papan kayu, dimana setiap sekat berukuran sekitar 2 x 2 meter, rencananya diisi satu keluarga. Pemisahan ini bertujuan untuk mengantisipasi penularan Covid-19.

Disampaikannya, angka kumulatif yang positif Covid-19 di Magelang seribuan (Data lebih rinci: https://covid19.magelangkota.go.id/)

“Kita tidak boleh under estimate, meskipun misalnya angkanya rendah. Bagi kami, angka berapa pun, kita tidak boleh menyepelekan. Kita harus tetap waspada.”

“Menurut saya itu cara yang efektif. Cara apa lagi yang bisa ditempuh untuk itu. Yang ideal memang dimasukkan ke kamar yang tertutup sendiri-sendiri, tapi kita tidak punya tempat-tempat seperti itu,” imbuhnya.

Bilik-bilik Tempat Evakuasi Akhir (TEA) di tengah pandemi Covid-19 berdesain khusus berukuran sekitar 2 x 2 meter yang masih dalam proses pengerjaan di TEA Tamanagung, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, Jumat malam, 6 November 2020
Bilik-bilik Tempat Evakuasi Akhir (TEA) di tengah pandemi Covid-19 berdesain khusus berukuran sekitar 2 x 2 meter yang masih dalam proses pengerjaan di TEA Tamanagung, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, Jumat malam, 6 November 2020 (KalderaNews/Loyola Kukuh)

Ia lantas menjelaskan penangangan Covid-19 dan pengungsian itu sebenarnya dua hal yang cara penanganannya beda sekali.

“Penangangan Covid-19 dan pengungsian itu dua hal yang cara penanganannya bertentangan sekali. Mengungsikan itu kita mengumpulkan orang, sementara penangangan Covid-19 itu kita menjaga jarak atau menjauhi kerumunan. Yang satu menciptakan kerumunan, yang satu menghindari kerumunan.”

Nah untuk menghindari kerumunan, menjaga jarak, menghindari droplet dan seterusnya, salah satunya adalah sekat. Kalau untuk wajah ada face shield, kalau orang per orang pakai masker dan kalau antar kerumunan kecil maka mengolala kerumunan itu salah satunya memberikan tirai. Tirainya itu bilik-bilik tersebut.

“Apakah itu efektif 100%, tentu kita tidak ada nilai mutlak. Kita tidak akan pernah memiliki nilai mutlak, benar atau salah, namun hal yang ideal itu memang harus dilakukan.”

Karena saat ini sedang menjaga jarak (minimal 1 meter) maka desain pengungsian dengan sekat-sekat ini secara otomatis membuat kapasitas yang tanpa sekat 100% hanya akan terisi 50%.

Selain itu, di Magelang sendiri saat ini ada 19 desa di Kawasan Rawan Bencana (KRB) dengan jumlah penduduk 64 ribuan jiwa, sementara ancaman sekarang baru untuk 3 desa. Artinya, dengan 50% itu pun, kalau mau “intervensi desa pasangan” dengan dipinjam untuk dihuni maka bisa dilakukan dengan mudah.

Selamat dari Merapi, Selamat dari Covid-19

Segala fasilitas protokol kesehatan Covid-19 disiapkan di setiap TEA, seperti tempat cuci tangan, hand sanitizer, disinfektan dan lainnya.

Fasilitas lainnya ada kamar mandi dan WC, dapur umum, ruang khusus untuk kelompok rentan (ibu hamil, menyusui dan lanjut usia) dan pos kesehatan.

Pengungsi Gunung Merapi di Tempat Evakuasi Akhir (TEA) Tamanagung, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, Jumat malam, 6 November 2020
Pengungsi Gunung Merapi di Tempat Evakuasi Akhir (TEA) Tamanagung, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, Jumat malam, 6 November 2020 (KalderaNews/Loyola Kukuh)

“Di luar kita sediakan cuci tangan dan di dalam ruangan tetap harus pakai masker, tapi di bilik seperti saudara sendiri boleh dilepas, tapi begitu keluar bilik pakai masker lagi. Tagline kami selamat dari Merapi, selamat dari Covid-19. Kita ingin selamat dari Merapi, tapi tidak ingin muncul klaster pengungsian,” pungkasnya.

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*