Oleh Eben E. Siadari *
JAKARTA, KalderaNews.com — Bagaimana rasanya orang kaya ternama tetapi kemana-mana naik kendaraan umum? Bagaimana rasanya harta berlimpah tetapi hanya punya arloji murahan seharga Rp150.000-an? Bagaimana rasanya miliarder tapi hanya punya sepatu sepasang?
Pertanyaan ini paling tepat diarahkan kepada Chuck Feeney. Pengusaha AS berdarah Inggris ini dikenal sebagai miliarder berkat bisnis barang-barang mewah lewat perusahaannya, Duty-Free Shoppers Group yang terkenal. Namun, hidupnya ternyata sangat bersahaja. Ia merasa tidak perlu memiliki sepatu lebih dari sepasang. Kemana-mana ia pergi dengan kendaraan umum karena ia tidak memiliki mobil pribadi. Arlojinya adalah Casio murahan seharga US$10, dan ia tinggal di apartemen sewaan, karena tidak memiliki rumah sendiri.
Untuk apa Chuck Feeney mengumpulkan uang dan membangun korporasi jika bukan untuk menikmatinya?
Ayah dari empat putri dan satu putra ini memiliki jawaban yang menarik. Baginya, menjadi orang kaya berarti mengemban tanggung jawab besar bagi sesama. Dalam hemat dia, di dalam harta benda para miliarder terkandung beban. Beban itu adalah keharusan menggunakan (seluruh) kekayaan untuk membantu dan meningkatkan kesejahteraan sesama manusia.
BACA JUGA:
- Kajian Sekolah Tatap Muka di Surabaya Tinggal Finalisasi
- Sebelum Belajar Tatap Muka Dibuka, Wali Kota Surabaya: Guru dan Murid Harus Test Swab Semua
- Berkat Beasiswa Pemkot, 5 Arek Surabaya Jadi Co-pilot Citilink
Dua orang terkaya di dunia, Warren Buffett dan Bill Gates, dikenal sebagai orang yang dermawan melalui yayasan-yayasan mereka. Tetapi keduanya masih kalah murah hati dibanding Chuck Feeney dalam hal bagaimana mendermakan kekayaan bagi kegiatan amal.
Chuck Feeney bertekad menyerahkan SELURUH kekayaannya bagi kegiatan amal. Dan penyerahan itu tidak dilakukan setelah ia meninggal, tetapi ketika masih hidup. Ini suatu keputusan yang luar biasa, yang kemudian menginspirasi Buffett dan Gates mendirikan The Giving Pledge. The Giving Pledge adalah gerakan yang meminta komitmen orang-orang terkaya dunia untuk memberikan setidaknya setengah dari kekayaan mereka untuk amal.
Feeney sendiri tidak segan-segan menasihati Buffett dan Gates tentang bagaimana artinya menjadi orang kaya yang memiliki tanggung jawab kepada sesama. Ia menyarankan kepada dua orang itu untuk tidak menunda-nunda membagikan kekayaan bagi kesejahteraan manusia. Semakin cepat langkah itu direalisasikan, semakin baik hasilnya. Sebab, menurut Feeney, amal yang ditunda akan mempersulit generasi berikutnya.
Dalam suratnya kepada Buffett dan Gates, Feeney mengatakan, “Saya tidak dapat memikirkan penggunaan kekayaan yang lebih bermanfaat dan tepat secara pribadi daripada memberikannya saat seseorang masih hidup — untuk secara pribadi mengabdikan diri pada upaya penting dalam memperbaiki kondisi manusia. Kebutuhan saat ini begitu besar dan beragam, sehingga dukungan filantropi yang cerdas dan intervensi positif dapat memiliki nilai dan dampak yang lebih besar saat dilakukan sekarang daripada jika ditunda ke masa mendatang, saat kebutuhan sudah jauh lebih besar,” tulis Feeney.
Feeney adalah penganjur gerakan untuk mendermakan seluruh kekayaan semasa masih hidup, bukan sesudah mati. Dalam sebuah wawancara dengan The Guardian, Feeney mengatakan betapa bahagianya dirinya ketika telah berhasil menyerahkan semua kekayaannya kepada pekerjaan amal tanpa harus mati dulu. Dalam wawancara itu dia mengimbau orang-orang super kaya lainnya untuk tidak menunggu sampai mereka meninggal untuk mengalami kegembiraan dalam membagikan kekayaan mereka.
Feeney tidak membual. Ia mengerjakan apa yang ia katakan. September lalu ia menjadi pembicaraan di kalangan miliarder dunia karena cita-citanya untuk menyumbangkan seluruh kekayaannya telah tercapai. Di usianya yang kini 89 tahun. ia telah menyumbangkan hampir US$9 miliar (ini merupakan nilai seluruh kekayaannya) ke berbagai penjuru dunia, melalui yayasan pribadinya, Atlantic Philanthropies. Barangkali dia satu-satunya orang yang melihat seluruh kekayaannya beralih menjadi amal semasa ia masih hidup.
Feeney telah menyumbangkan US$ 3,7 miliar untuk lembaga pendidikan tinggi, termasuk hampir senilai US$1 miliar untuk almamaternya, Cornell University. Ia merasa berutang budi kepada kampus ini karena ia kuliah di sini dengan gratis setelah bertugas di Angkatan Udara AS selama Perang Korea.
Dia juga telah menyumbangkan US$870 juta untuk berbagai kelompok hak asasi manusia, dan US$1,9 miliar untuk mendanai berbagai proyek di Irlandia, di mana dia membantu mendirikan Universitas Limerick.
Langkahnya untuk menyalurkan seluruh kekayaannya kepada kegiatan amal sebetulnya sudah lama. Ia mengalihkan kekayaanny secara bertahap dalam 15 tahun pertama dengan diam-diam. Ia berhasil menyembunyikan aktivitas amalnya dan baru terungkap ke publik pada tahun 1997 ketika dia menjual seluruh sahamnya di perusahaannya.
Dia tetap tidak menonjolkan diri sampai tahun 2005. Lalu Pengusaha kelahiran New Jersey memutuskan untuk bekerja sama dalam penulisan biografinya dengan jurnalis Conor O’Cleary, dengan tujuan untuk mempromosikan gerakan “Memberi Semasa Hidup” kepada para orang kaya lainnya. Pada 2007 buku tersebut diluncurkan di Trinity College Dublin.
Pengusaha dengan nama lengkap Charles F Feeney ini lahir pada tahun 1931. Ibunya bekerja sebagai perawat rumah sakit dan ayahnya sebagai pekerja asuransi. Perenungannya terhadap makna kekayaan terpicu oleh tulisan orang kaya AS zaman lampau, Andrew Carnegie, “The Gospel of Wealth,” yang antara lain berkata, “Mati dalam keadaan kaya, sama dengan mati dengan malu.” Dengan kata lain bagikanlah kekayaan semasa hidup.
Dalam artikelnya, Carnegie mengatakan bahwa cara terbaik bagi para orang kaya untuk menghadapi ketimpangan sosial adalah dengan memanfaatkan kelebihan kekayaan mereka secara bertanggung jawab dan bijaksana. Pendekatan ini berbeda dengan tradisi lama, di mana kekayaan diwariskan kepada ahli waris, atau diwariskan kepada negara untuk kepentingan umum.
Carnegie menentang penggunaan modal yang boros dan tidak bertanggung jawab apalagi bila hanya untuk kesenangan diri. Carnegie meminta orang-orang kaya mengelola kekayaan mereka untuk mengurangi kesenjangan kaya dan miskin. Carnegie sendiri, sejak usia 35 tahun, telah membatasi kekayaan pribadinya dan menyumbangkan kelebihannya untuk tujuan kebajikan. Dia bertekad untuk dikenang karena perbuatan baiknya daripada kekayaannya.
Terinspirasi oleh Carnegie, Feeney mendirikan yayasan Atlantic Philanthropies pada 1982. Ini adalah sebuah organisasi amal berskala internasional yang ditujukan untuk menyumbangkan kekayaannya bagi berbagai proyek bertujuan baik di seluruh dunia.
Begitu rahasianya misi filantropisnya tersebut di masa-masa awal, sehingga orang-orang di perusahaannya sendiri tidak banyak tahu tentang itu. Kemampuannya menutupi kebaikannya membuat Feeney dijuluki James Bond filantropi.
Apakah Feeney tidak memikirkan keluarga sehingga kekayaannya lepas begitu saja? Dalam biografinya, Feeney disebutkan telah memberi ‘bekal’ kekayaan yang cukup kepada lima anaknya dari istri pertama. Selanjutnya Feeney memilih hidup di sebuah apartemen sewaan bersama mantan sekretarisnya yang kemudian menjadi istrinya. Ia sering bepergian ke berbagai penjuru dunia meninjau program-program yang dijalankan yayasannya.
* Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan. Buku karyanya antara lainEsensi Praktik Menulis (2019), The Beautiful Sarimatondang (2020), Perempuan-perempuan Batak yang Perkasa (2020) dan Kerupuk Kampung untuk Gadis Berkacamata Bill Gates (2020).
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply