Oleh Christabelle Amadea *
JAKARTA, KalderaNews.com — Di masa pandemi COVID-19 ini sulit melaksanakan berbagai hal. Sebagai siswa kelas 11 di SMAN 77 Cempaka Putih Jakarta Pusat, saya juga merasakan hal yang sama, terhambat untuk beraktivitas.
Di sekolah saya merupakan anggota Organisasi Intra Sekolah (OSIS). Setiap tahun kami memiliki program kerja (proker) MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah) yang diperuntukkan bagi siswa yang baru masuk ke SMAN 77.
Pandemi COVID-19 yang muncul tak terduga memang menjadi faktor yang mempersulit, namun kami bertekad tetap melaksanakan program MPLS. Dan, saya diberi kesempatan untuk menjadi ketua pelaksananya tahun ini.
Sejujurnya, saat mendapat kabar itu saya senang, tetapi pada saat yang sama juga agak bingung. Sebab, ini adalah tahun pertama MPLS yang biasanya terlaksana dengan meriah di sekolah harus diaksanakan secara virtual. Tantangan yang unik sekaligus menarik.
BACA JUGA:
- Anne Avantie: Makna di Balik Tutup Mulut dengan Masker
- Pendidikan Untuk Semua: Antara Kuota Internet, Hibah dan Kepatutan
- Katakan pada Ibu Jangan Malu Dibilang Bawel
- Sama-sama Diterima di Cornell University, Kakak Beradik Sefa dan Panya Berbagi Cerita
- Yodi Prabowo Disimpulkan Bunuh Diri, Kenapa Orang Bisa Bunuh Diri?
Sebelum MPLS dimulai kami panitia mempersiapkan berbagai hal melalui diskusi secara online. Mulai dari rundown acara, data siswa baru, materi yang akan disampaikan, dan masih banyak lagi.
Sebenarnya untuk MPLS virtual persiapan tentang atribut lebih sederhana karena tidak diperlukan banyak atribut seperti pada MPLS di masa normal. Yang lebih menantang adalah menyusun format acara. Berbeda dengan tahun sebelumnya, persiapan MPLS kali ini, menurut saya, masih bersifat ‘abu-abu,’ kami masih meraba-raba dalam merumuskan format. Dan akhirnya kami menyimpulkan bahwa kreativitas, fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi adalah hal yang paling utama.
Di dalam persiapan kami sebagai panitia mendapat banyak tantangan untuk kami pecahkan. Mulai dari segala kekurangan dalam bidang teknologi, keluhan mengenai data seluler, PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) tahun ini yang sangat berbeda dan menjadi isu sensitif, hingga berbagai hal lain yang cukup membuat frustasi.
Diskusi panitia tidak jarang diwarnai perdebatan. Masalah demi masalah sepertinya terus datang. Sebagai ketua pelaksana, saya dituntut memimpin untuk mencari jalan keluar dan berusaha sekuat mungkin agar MPLS ini terarah dan tepat pada tujuan.
Harus diakui MPLS virtual ini buat kami panitia adalah hal baru. Semua masih belajar. Bahkan para guru dan kakak kelas yang menjadi Pengawas (dewan guru dan kakak OSIS) belum pernah menjalankan program kerja ini seperti ini secara virtual. Kami sama-sama belajar hal baru, mengembangkan kemampuan di bidang teknologi, mulai berinovasi dan meningkatkan kreativitas kami melalui online. Pada saat-saat demikian, saya selalu teringat pada Jonas Salk yang pernah berkata bahwa harapan terletak pada mimpi, imajinasi, dan keberanian mereka yang berani mewujudkan mimpi menjadi kenyataan.
Kami menetapkan tema MPLS tahun ini CORONA, yang merupakan akronim dari Connecting Youth From New Era. Mengapa kami sebagai panitia mengambil tema ini? Karena kami sebagai siswa dan juga bagian dari generasi Z di era millenial dituntut untuk memenuhi beberapa standar, termasuk kreatifitas, kemampuan beradaptasi terhadap teknologi dan memiliki sikap kepemimpinan untuk siap menjadi pemimpin di masa depan.
Dengan tema ini kami ingin menghubungkan para peserta MPLS dengan lingkungan sekolah sekaligus menumbuhkan sikap kepemimpinan yang mampu membangun koneksi yang baik dengan banyak kalangan serta memberi pengaruh untuk mengikuti jejaknya.
Setelah banyak masalah yang kami hadapi dalam persiapan tibalah hari H yang kami tunggu. Gugup pastinya karena tidak banyak yang bisa dipersiapkan maksimal selama kurang dari 3 minggu. Saya sendiri juga masih bimbang dengan rancangan acara yang tidak pasti dan banyak kendala lainnya. Letih, kesal karena beberapa usulan inovasi tidak diterima dewan pengawas, takut acaranya akan membosankan dan tidak disukai, semua itu saya rasakan namun saya berusaha tetap positif dan menularkan antusiasme kepada panitia. Di sisi lain saya juga memikirkan the worst scenario dan antisipasinya.
MPLS dilaksanakan selama tiga hari 13-15 Juli 2020, puji Tuhan berjalan dengan lancar dan terasa sangat istimewa. Berawal dari data siswa yang masih berantakan pada hari pertama, rancangan acara yang tiba-tiba diubah sehari sebelum hari H, dan berbagai hal konyol yang terjadi saat panitia inti berada di sekolah, bercampur-aduk dengan perasaan senang bisa melepas rindu pada teman dan juga sekolah dengan tetap mengikuti protokol kesehatan. Lalu kami juga merasa terhibur dan bersemangat oleh keseruan membuat video materi dan tur lingkungan sekolah, serta dengan macam tingkah adik kelas yang lucu saat zoom.
Pengalaman ini membawa saya untuk melihat teknologi sebagai suatu wadah dari aspirasi, imajinasi dan kreatifitas. Buat saya analogi paling tepat untuk menggambarkan MPLS itu adalah sebuah rumah. Kita tidak melihat seberapa besar dan mewahnya rumah itu, atau seberapa berantakannya dia, tetapi yang terpenting ialah orang-orang di dalam rumah itu, merasa nyaman dan berusaha membuat nyaman walaupun ada kalanya ditingkahi kekacauan.
Sungguh pengalaman yang tidak terlupakan, benar-benar bersejarah dan menjadi tonggak sejarah juga bagi MPLS ke depannya apabila dilanjutkan secara virtual. MPLS ini bisa saya katakan sukses karena tanggapan dari adik-adik kelas sangat positif dimana 90% dari mereka mengatakan bahwa acaranya seru. Mereka merasa diterima dengan hangat oleh karena pembawaan kakak kelas yang hangat, mereka merasa cukup mengenal lingkungan sekolah meski hanya lewat virtual, bekal untuk memulai lembaran baru di jenjang putih abu-abu di SMAN 77.
*Christabelle Amadea menempuh pendidikan SD di SDK 3 PENABUR dan SMP di SMPK 3 PENABUR, saat ini duduk di kelas XI SMA Negeri 77 Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply