Apa Perlunya Pelajaran Mengarang?

Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta.
Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta (KalderaNews/Ist)
Sharing for Empowerment

Oleh Eben E. Siadari *

JAKARTA, KalderaNews.com – Seberapa penting pelajaran mengarang di sekolah kita?

Seringkali pelajaran mengarang dipandang rendah karena maknanya sering diasosiasikan dengan pekerjaan menghayal, mengada-ada, tidak masuk akal dan bahkan kemudian dianggap berbohong.

Diakui atau tidak, manusia suka sekali dengan kepastian, yang masuk akal, yang dapat dinalar dengan rasio. Karena itu lah orang selalu gandrung dengan rumus, resep, taktik, strategi dan berbagai alat untuk menciptakan kepastian itu.

Mengapa tontonan olah raga bisa mendatangkan antusiasme yang demikian tinggi dimana saja di belahan dunia ini? Jawabnya: karena dengan tontonan itu lah manusia bisa melarikan diri sejenak dari hidup yang penuh ketidakpastian.

BACA JUGA:

Di pentas olah raga paling tidak ada banyak hal yang sudah jelas: aturannya pasti. Dalam sepak bola, misalnya, tim yang memasukkan bola paling banyak ke gawang lawan, dia lah yang menang. Jumlah pemain harus 11. Tidak boleh memainkan bola dengan tangan, kecuali kiper. Pada olah raga lari, lebih sederhana lagi. Siapa paling cepat tiba di garis finish, dia lah yang menang.

Dengan menonton dan jadi fans sebuah tim olah raga, kita sejenak terlupa dari berbagai ketidaklogisan mau pun kesemrawutan hidup. “Sports offers us a momentary escape from the inconclusive struggles of daily life into an ordered world with well defined rules, clear cut winners and losers and certifiable heroes and heroines,” kata Harry H Crosby dan Duncan A Carter dalam buku mereka, The Committed Writes, Mastering Nonfiction Genres.

Karena terobsesi untuk menundukkan ketidakpastian, manusia tak jera-jeranya berikhtiar menemukan resep yang manjur untuk menjelaskan segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Manusia memang sadar bahwa hidup sudah pasti tidak sesempit pesta olah raga. Namun manusia tiada henti ingin menjaringnya dalam rumus atau dalil. Ironisnya, itu kemudian menenggelamkan manusia dalam proses reduksi yang tiada berkesudahan.

Paling tidak, begitu lah pendapat Milan Kundera. Di zaman permulaan era modern, kata Kundera dalam Art of Novel, dunia dan manusia lambat laun dikerdilkan menjadi objek teknis dan matematis belaka sehingga ilmu pengetahuan mendorong manusia masuk ke terowongan spesialisasi disiplin. Dengan begitu perkembangan ilmu pengetahuan menyebabkan manusia tidak bisa melihat dunia lain secara penuh, termasuk diri mereka sendiri.

Manusia, kata Kundera, menjadi alat belaka kekuasaan (teknologi, politik, sejarah) yang telah melampaui dan memiliki manusia itu sendiri. Bagi kekuasaan, manusia hanya diperhitungkan sebagai manusia konkret, bukan sebagai ‘kehidupan’ dengan beribu  kemungkinan di dalamnya.

Di sinilah diperlukan para pengarang dan dunianya, yang oleh Milan Kudera, disimbolkan sebagai Novel. Dan di sini lah kita akan menemukan arti penting pelajaran mengarang.

Di antara tekanan proses reduksi yang gila-gilaan itu, masih ada para pengarang yang menghidupkan dan menjaga manusia agar tidak terasing dari spirit hidup hakikinya yang kompleks, walau harus diakui mereka selalu dalam ketegangan berhadapan dengan ancaman pereduksian itu.

Novel, kata Kundera, dengan setia dan terus-menerus menemani manusia sejak awal era modern. Novel hadir untuk meneliti dengan cermat kehidupan konkret manusia dan melindunginya dari “pelupaan atas mengada.”

Satu-satunya raison d’etre dari sebuah Novel, kata Kundera, adalah untuk menemukan apa yang hanya dapat ditemukan oleh Novel tersebut. Dengan kata lain, Novel mempertemukan manusia dengan dirinya, yang tidak dapat ditemukannya melalui hal lain.

Spirit Novel adalah menerima dan mengakui kekompleks-an itu apa adanya. Menurut Kundera, setiap Novel mengatakan kepada pembacanya, “Mahluk adalah tidak sesederhana yang kamu pikirkan.”

Kalau orang Jawa percaya dengan kearifan yang berkata manungso tan keno kiniro, manusia tak dapat diduga, lewat Novel lah kearifan itu dapat dihadirkan dan dihidupkan dengan jelas. Bahkan itu lah, menurut Kundera, kebenaran abadi Novel.

Novel dengan caranya sendiri menemukan berbagai dimensi eksistensi yang telah banyak diabaikan oleh peradaban. Melalui Novel manusia mengeksplorasi dirinya ke sudut-sudut yang sangat dalam, yang bahkan tidak pernah terbayangkan dan oleh pendekatan lain tak mungkin dapat terhantarkan.

Kata Kundera, “Semua novel di setiap masa, berpusat pada teka-teki diri. Segera setelah sosok imajiner tercipta dalam novel, secara otomatis ia akan berhadapan dengan pertanyaan: apa itu diri dan bagaimana diri bisa terpahami?…. Manusia berharap untuk menyatakan citranya melalui perilaku tapi citra itu tak mirip dengannya. Dan jika diri tidak dapat dipahami melalui tingkah laku, lantas dimana dan bagaimana kita memahaminya? Maka tiba lah waktunya ketika novel, dalam pencarian dirinya, dipaksa untuk berpaling dari dunia tindakan yang kasat mata dan beralih pada kedalaman kehidupan yang tidak terlihat.”

Mengarang adalah petualangan tak berkesudahan untuk menjaga dunia yang kompleks itu tak punah oleh proses reduksi yang mengancam tak berkesudahan. Para pengarang berjuang untuk mengeksplorasi segala hal tersembunyi dan tak mungkin, untuk menjadikannya nyata dan mungkin dalam karya-nya.

Memang tak semua pengarang sukses melakukannya. Tetapi itu lah hakikat dunia kepengarangan. Dengan begitu pembacanya disadarkan bahwa dunia ini rumit, tidak hitam putih.

Dunia yang rumit itu penuh dengan hal-hal yang biasa, tetapi juga oleh kejadian-kejadian luar biasa, asing, aneh, unik, lucu, dungu dan lain-lain yang tak terjelaskan. Persis seperti panggung yang ditawarkan oleh para pengarang.

Oleh karya para pengarang, anak-anak dapat menemukan kebajikan dalam dongeng tentang kancil dan buaya yang legendaris walau pun hingga zaman jungkir-balik begini belum pernah ada berita yang mengatakan kancil dan buaya bisa ngobrol. Oleh karya para pengarang pula kita bisa dihanyutkan pada manisnya cinta yang tragis, baik di negeri pribumi ini yang dialami Saijah dan Adinda mau pun di negeri dingin yang dilakoni Romeo dan Juliet.  Sama halnya dengan manggut-manggutnya para pembaca meskipun ia tak pernah ke Rusia, tentang adanya Krasnoyarsk-26, kota rahasia bawah tanah tempat pengayaan uranium, yang dibacanya lewat The Sky is Falling karya Sidney Sheldon.

Maka jika ada pertanyaan apa pentingnya Pelajaran Mengarang, kini kita sudah tahu jawabannya.

* Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan. Buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), The Beautiful Sarimatondang (2020), Perempuan-perempuan Batak yang Perkasa (2020) dan Kerupuk Kampung untuk Gadis Berkacamata Bill Gates (2020).

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*