JAKARTA, KalderaNews.com — COVID-19 diprediksi akan membuat ranking universitas di negara-negara maju, terutama Barat, merosot. Sementara universitas di negara-negara Asia, seperti Korea Selatan, Jepang, Singapura dan Malaysia diperkirakan akan meningkat.
Pendapat ini dikemukakan Richard Holmes, Editor The University Ranking Watch, sebuah blog yang mencermati pemeringkatan universitas di seluruh dunia.
Meskipun demikian, Holmes menggarisbawahi bahwa perubahan itu tidak akan terjadi serta-merta namun memerlukan waktu beberapa tahun. Prediksi itu juga ia lakukan dengan asumsi tidak ada perubahan metode pemeringkatan oleh lembaga-lembaga yang melakukannya.
Keadaan Sudah Berbeda
Holmes yang menuliskan pendapatnya di University World News, 25 Juli lalu, menggambarkan dunia pendidikan tinggi di negara-negara maju sudah berbeda di tengah dan pasca pandemi COVID-19. Paruh pertama tahun 2020 merupakan situasi yang sangat dramatis bagi mereka.
BACA JUGA:
- Heboh, Hadi Pranoto Klaim Temukan Antibodi Covid-19, Begini Penjelasan Kemenristek/BRIN
- “Teman KIP” Diluncurkan, Agar KIP Kuliah Tepat Sasaran
- Inilah 20 Universitas Swasta Terbaik di Indonesia Versi Webometrics
- Kepala MTs N 31 Jakarta: Ternyata Anak Madrasah Juga Bisa Berprestasi di Ajang Nasional
- 4 Pelajar Indonesia Ini Ukir Prestasi Olimpiade Kimia Internasional di Tengah Pandemi Covid-19
- Pelajar Indonesia Wajib Karantina Mandiri 14 Hari Begitu Tiba di Belanda
- Sebanyak 26 Mahasiswa dan Profesional Indonesia Gondol Beasiswa StuNed 2020
Pandemi COVID-19 telah membuat universitas-universitas di seluruh dunia menutup kegiatan perkuliahan tatap muka dan dampaknya akan berlanjut pada tahun-tahun mendatang.
Ketika universitas-universitas tersebut secara bertahap dan hati-hati membuka kembali kegiatan perkuliahan tatap muka, universitas akan menemukan diri mereka di dunia yang agak berbeda dari yang mereka dapati di awal tahun. Sejumlah tren yang menunjukkan meningkatnya risiko tampak semakin jelas.
Yang paling menonjol adalah mobilitas mahasiswa internasional yang akan berkurang. Bahkan jika pun ada semangat baru untuk kembali ke kampus di tahun 2021 atau 2022, Holmes mengatakan itu hampir pasti akan terbatas dan tidak merata.
Menurut dia, mahasiswa dari China Daratan, tidak mungkin kembali ke universitas-universitas di negara Barat dalam jumlah yang signifikan, bahkan jika pun ada peningkatan dari mahasiswa Hong Kong yang pindah ke negara-negara Barat.
“Mungkin akan ada pergeseran ke negara tujuan baru. Para mahasiswa yang melanjutkan kuliah ke luar negeri akan menuju ke tempat-tempat yang telah melakukan pengendalian pandemi secara lebih baik, seperti Jerman, Korea Selatan, Jepang, Malaysia, Singapura dan Selandia Baru,” tulis dia.
“Mereka akan menjauh dari Inggris dan Amerika Serikat, terutama jika pemerintah negara itu mengenakan biaya dan peraturan visa yang diskriminatif,” lanjut dia.
Tekanan dari mahasiswa setempat juga diperkirakan akan menambah risiko bagi universitas-universitas di negara maju. Holmes mengatakan akan banyak mahasiswa lokal yang mempertanyakan mahalnya biaya kuliah yang diselenggarakan secara hibrid — online dan tatap muka. Akan ada yang enggan membayar atau melakukan pinjaman untuk membayar perkuliahan yang dianggap tidak memberikan pengalaman kuliah yang sepadan.
Masalah keuangan
Holmes mengatakan hal ini akan menyebabkan masalah keuangan yang sangat besar. Universitas tidak bisa hidup tanpa mahasiswa, setidaknya tanpa pinjaman dan hibah yang menyertainya.
Mungkin pemerintah di negara-negara maju akan datang dengan dana talangan, untuk membantu. Namun, kata Holmes, universitas belum tentu lembaga yang paling layak untuk mendapatkannya.
Konsekuensinya, akan ada penutupan, merger, redundansi, pemotongan dan penghematan dan akan ada konflik berkelanjutan tentang siapa yang paling menderita oleh krisis ini. Semua ini, tulis Holmes, tidak akan membuat mahasiswa tertarik untuk masuk kampus.
“Kemungkinan juga kemampuan akademik mahasiswa secara keseluruhan akan turun. Pembelajaran online tidak bekerja untuk semua orang dan banyakmaha siswa yang memasuki tahun ini akan benar-benar tidak siap. Ini akan diperburuk dengan penurunan standar ujian di AS dan menurunkan standar penerimaan mahasiswa di Eropa,” tulis Holmes.
Saat universitas memangkas anggaran, proyek penelitian yang berbiaya tinggi pun akan dipotong. Selanjutnya, kata Holmes, kualitas dan kuantitas penelitian di seluruh negara-negara Barat akan mulai atau terus memburuk dan tidak adanya mahasiswa internasional akan memperburuk keadaan.
Pengaruhnya pada Peringkat Global
Semua ini, lanjut Holmes, dapat menyebabkan fluktuasi nilai dan peringkat di beberapa peringkat global. Universitas di Inggris, Amerika Utara dan Australia yang mengandalkan mahasiswa internasional untuk pendapatan dan status, kata Holmes, kemungkinan harus menerima kenyataan bahwa skor mereka akan merosot dalam pemeringkatan Round University Rankings (RUR), demikian juga dengan pemeringkatan Times Higher Education (THE) dan pemeringkatan universitas dunia QS.
Ini juga, kata dia, akan disertai oleh penurunan yang lebih kecil dalam indikator fakultas internasional yang digunakan dalam peringkat tersebut dan cabang regional dan spesialis mereka.
Volatilitas tidak akan berhenti di situ. Jika aliran dana dari negara dan perusahaan mengering, hal itu juga akan mempengaruhi peringkat RUR dan THE, yang keduanya dipengaruhi oleh indikator pendapatan. Karena jumlah peneliti berbakat dan pendanaan menurun di negara-negara Barat, kata Holmes, akan ada percepatan konvergensi universitas Barat dan Asia di peringkat global.
Tidak dalam Jangka Pendek
Meskipun demikian, Holmes menekankan bahwa dampak pandemi COVID-19 terhadap peringkat universitas global tidak akan terjadi tahun ini atau bahkan tahun depan. Menurut dia, beberapa pemeringkatan menggunakan data institusional yang telah dikumpulkan dua atau tiga tahun sebelumnya atau mereka menganalisis data bibliometrik selama empat, lima atau bahkan, 11 tahun.
Respon rata-rata survei, kata dia, berkisar dua tahun, bahkan QS Ranking menggunakan data selama lima tahun. QS juga memiliki beberapa mekanisme lain yang meredam atau membatasi dampak fluktuasi mendadak dari tahun ke tahun.
Tetapi selama beberapa tahun ke depan, kata Holmes, jika tren saat ini berlanjut dan jika metodologi peringkat tetap tidak berubah, “kita akan melihat beberapa universitas terkenal di negara Barat harus berjuang untuk mempertahankan tempat mereka di pemeringkatan global.
Holmes mengatakan, menurunnya pendaftaran mahasiswa internasional, penurunan pendapatan, terutama dari pemerintah, rasio fakultas-mahasiswa yang semakin buruk, kolaborasi internasional dan industri yang terbatas, semakin sedikit publikasi berkualitas pada akhirnya akan merugikan universitas-universitas di negara Barat.
Sementara itu, di Asia Timur dan mungkin beberapa tempat di Asia Tenggara, Selatan dan Barat dan Eropa Timur, pemulihan ekonomi yang lebih baik, relatif stabilnya situasi politik dan kebijakan rekrutmen dan penerimaan yang ketat, menurut dia, akan menghasilkan pertumbuhan penelitian dan inovasi yang stabil.
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu.
Leave a Reply